Wednesday, September 17, 2014

PILKADA LANGSUNG VS TIDAK LANGSUNG: Siapa dan Apa Yang Diuntungkan?

Akhir-akhir ini, terutama setelah penetapan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Koalisi Merah Putih yang kalah dalam perhelatan PILPRES 2014 telah melakukan manuver dengan sepakat untuk menjadi "koalisi permanen". Salah satu pencapaian adalah dengan berhasilnya menetapkan UU MD3, yang antara lain menyangkut bahwa Pemenang Pemilu tidak lagi secara otomatis menjadi ketua Majelis/Dewan seperti aturan sebelumnya tetapi harus melalui voting lagi. Pemenang tidak lagi bisa menduduki posisi ketua apalagi koalisi atau gabungan partai yang mayoritas menghendaki calon yang lain. Dalam hal ini, dengan jumlah kursi mayoritas di legislatif membuat KMP sangat diuntungkan dengan regulasi baru tersebut... meskipun UU tersebut sekarang masih dalam proses uji materi di MK.

Gebrakan baru KMP yang kemudian  mengundang kontroversi adalah dengan inisiasi pelaksanaan pilkada (Gubernur/Bupati/Walikota) tidak langsung dengan melalui pemilihan oleh segelintir orang di DPRD. Kontroversi mengemuka antara lain terkait dengan motivasi dibalik usulan ini, terlebih lagi mereka yang mengusulkan tersebut adalah mereka-mereka yang dulu juga ikut menyetujui UU Pilkada langsung yang masih diterapkan hingga sekarang ini. Motivasi itu menjadi penting karena "timing" munculnya gagasan ini setelah KMP kalah dalam pilpres padahal mereka mempunyai suara dan jumlah anggota legislatif yang dominan. Dengan demikian, kalau KMP solid, mereka bisa berbuat banyak dalam penentuan Pimpinan Majelis/Dewan, termasuk menentukan pimpinan daerah (gubernur/bupati/walikota) dalam pilkada tidak langsung tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa usulan ini muncul dan apa hubungannya dengan semangat demokrasi dan perebutan kekuasaan?

Seperti dimaklumi, dalam beberapa hari terakhir, kontroversi  PILKADA langsung vs tidak langsung (melalui DPRD) ini telah menyedot perhatian hampir semua kalangan masyarakat. Yang sering menjadi soroton adalah kelebihan dan kelemahan dari kedua sistem pemilihan tersebut, sehingga  pandangan masyarakat menjadi terbelah. Cuma saja preferensi yang mayoritas ke sistem mana belum dapat dideteksi dengan baik, walaupun kalau melihat perkembangan di masyarakat, preferensi dan kecendrungan terbesar masih menghendaki pilkada langsung.

Argumen Biaya Tinggi, Efisiensi, dan Korupsi

Salah satu argumen mendasar bagi mereka yang mendorong Pilkada tidak langsung adalah alasan biaya tinggi baik dari sisi pemerintah maupun dari sisi calon (terutama mereka yang mengandalkan politik uang). Seperti diketahui bahwa biaya penyelenggaraan pemilu untuk 34 propinsi dan 417 kabupaten serta 94 kota  (sampai dengan UU No. 16 tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Musi Rawas Utara di Provinsi Sumatra Selatan tertanggal 10 Juli 2013) tentu tidaklah kecil, yang total nya disinyalir mencapai Rp.70 triliun. Namun demikian, argumen tidak lah selalu benar. Pertama, pilkada bukanlah ajang bisnis yang selalu dikaitkan dengan untung rugi, tetapi merupakan pengejewantahan hak asasi dan hak politik rakyat yang tidak bisa dinilai dengan uang. Kedua, kalaupun dipaksa dikaji dari sisi ekonomi alokasi belanja yang besar dari pemerintah bukanlah suatu keborosan tetapi hanya merupakan transfer dana dari pemerintah ke masyarakat yang pada kenyataannya mempunyai dampak berganda (multiplier effects) terhadap pertumbuhan ekonomi lokal.Tidak bisa dipungkiri bahwa saat pilkada ekonomi masyarakat di bidang transportasi, percetakan dan sejenis mengalami perkembangan yang pesat. Uang beredar ternyata mendorong tumbuhnya perekonomian masyarakat.

Di sisi calon, politik uang itu terdiri dari 3 hal. Pertama adalah dana untuk memperoleh dukungan politik dari partai untuk bisa menjadi calon, dan ini tidaklah kecil. Kedua adalah biaya logistik sosialisasi dan kampanye termasuk untuk lembaga konsultan pilkada. Ketiga adalah dana yang dibutuhkan untuk masyarakat pemilih, karena diantara mereka masih banyak yang meyakini bahwa politik uang bisa mempengaruhi suara pemilih. Argumen mereka adalah masyarakat masih banyak yang miskin sehingga diasumsikan bahwa kalau mereka diberikan bantuan dana atau barang akan memberikan hak pilihnya ke calon yang bersangkutan. Tetapi kenyataannya adalah hal itu tidaklah selalu benar, karena ternyata banyak calon yang sudah membagi dana dan bantuan di suatu daerah tapi justru tidak meraup suara yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa uang bukanlah segalanya. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar calon yang diusung itu punya kualitas  integritas dan moralitas yang bagus sehingga bisa menghindari politik uang.

Celakanya adalah argumen biaya besar itulah yang mendorong lahirnya praktek korupsi dari pimpinan daerah untuk mengganti dana besar (puluhan sampai ratusan miliyar rupiah) yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Kalau ini masalahnya, maka dari awal proses pemilihan, pihak pengawas pemilu dan KPK harus mengawasi dengan benar agar praktek politik uang ini bisa dihindari.

Menguntungkan Elit Politik

Pihak yang paling diuntungkan dengan pilkada tidak langsung adalah pimpinan partai politik dan anggota legislatif yang diberi hak eksklusif untuk memilih. Bagi partai politik, dengan pemilihan tidak langsung elit politik bisa memastikan siapa yang bisa menjadi pimpinan daerah. Selama ini, tidak banyak elit politik politik yang memiliki popularitas dan elektabilitas yang bagus, sehingga sering gagal dalam pertarungan pilkada langsung, bahkan di banyak tempat, calon independen serta bukan tokoh elit partai yang memenangkan pilkada. Walaupun kemudiaan diantara mereka banyak juga yang berlabuh ke partai politik. Keuntungan elit tidak hanya dari sisi politik tetapi juga sisi ekonomi. Tentu saja tidak mungkin partai politik serta anggota legislatif yang juga mengeluarkan banyak dana untuk berhasil, kemudian memberikan suaranya secara "gratis" kepada pimpinan daerah yang dipilih. Istilah "no free lunch" berlaku di sini. Apalagi dalam kenyatannya banyak partai yang terlibat dan hanya satu pasang calon yang jadi, sehingga partai dengan anggota legislatifnya yang tidak kebagian menjadi pimpinan daerah, akan meminta "kompensasi lain" dari partai dan/atau pimpinan daerah yang akan dimenangkan. Kompensasi yang biasa tentu saja duit, dan ini tidak kecil. Praktik politik ini tentu saja tidak sehat, dan tidak bisa dihindari serta bisa saja dijustifikasi dengan logika apapun.

Dampak lebih lanjut adalah praktek pemerintahan di daerah akan terganggu dengan tarik ulur kepentingan kalangan eksekutif dan legislatif, sehingga pemerintah sibuk melayani legislatif ketimbang rakyat secara langsung, karena diharapkan bisa dipilih kembali untuk periode kedua dan/atau melanggengkan politik uang yang dilakukan sejak pemilihan pertama. Dengan dipilih oleh DPRD (lembaga legislatif) maka  lembaga eksekutif (Gubernur/Bupati/Walikota) menjadi subordinasi dari legislatif, dan ini tidak sehat dalam praktek demokrasi moderen, apalagi dengan tiga hak penting yang dimiliki legislatif saat ini yaitu  legislasi, anggaran, dan pengawasan yang menjadikan mereka sudah superior terhadap eksekutif.

Melindungi Hak Asasi dan Politik Rakyat

Pilkada langsung yang telah berlangsung hampir sepuluh tahun telah banyak melahirkan banyak sisi positif dari ada sisi negatifnya. Kelebihan yang sangat menonjol adalah terpenuhinya hak-hak politik rakyat yang lebih luas, baik dalam kaitannya dengan hak dipilih maupun hak untuk memilih. Dalam sistem demokrasi ini, siapa saja yang punya potensi elektabilitas yang tinggi bisa ikut bertarung dan punya peluang untuk memenangkan pemilihan, apakah mereka elit politik, tokoh masyarakat, atau orang biasa sekalipun, antara lain dengan dimungkinkannya untuk bisa maju melalui jalur independen. Dan dalam sejarah pilkada telah banyak melahirkan pemimpin daerah dari jalur independen ini dan terbukti punya kinerja yang bagus dalam pembangunan dan pelayanan publik. Mereka yang dipilih langsung lebih semangat mengabdi kepada rakyat dan melakukan hal yang terbaik bagi masyarakat, karena dengan kinerja tersebut mereka bisa terpilih kembali.

Penutup

Apapun yang menyangkut kepentingan yang berbeda tentu selalu mengundang kontroversi. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana agar kedua belah pihak berpikiran jernih dengan mengedepankan hati nurani demi kepentingan masyarakat dan bangsa yang lebih baik. Pelibatan masyarakat yang lebih luas tentu merupakan pilihan yang lebih bijak, karena sebagai warga negara yang sejajar secara hukum dan hak  asasi sepatutnya diberikan hak-hak dasarnya. Memang resiko biayanya menjadi lebih tinggi, tetapi kalau itu bisa menjamin kemashlahatan ummat tentu itu bukanlah persoalan yang mendasar...toh uang rakyat digunakan untuk kepentingan rakyat pula.. Lagi pula, banyak negara-negara yang berhasil dan sukses dengan demokrasi langsung itu, dan tentu itu butuh waktu dan proses perbaikan berkelanjutan. Yang harus kita lakukan adalah secara terus menerus melakukan pendidikan politik rakyat yang bersih bahwa integritas dan moralitas bangsa adalah diatas segalanya. Wallahu alam bissawab...


No comments:

Ide Tambahan Masa Jabatan Presiden

Setelah wacana presiden tiga periode mereda, kini muncul ide yang lebih gila lagi yaitu perpanjang masa jabatan presiden tiga tahun lagi. Id...