Thursday, April 26, 2018

MENAKAR PELUANG PENANTANG JOKOWI DAN KEMUNGKINAN KETERPILIHAN DI PILPRES 2019 (Calculating Potential Rivals of Jokowi and Elected Possibility)

Pengantar

Pilpres 2019 menjadi perhelatan yang menarik karena geliat yang muncul akhir-akhir ini menunjukkan semakin terbukanya peluang  keterpilihan Presiden baru misalnya dengan munculnya tagline seperti  #GantiPresiden2019, #Presidenbaru 2019, yang kemudian disusul dengan gerakan yang sama, misalnya #TetapJokowi, #Jokowi2periode. Pembahasan ini semakin menarik jika dikaitkan dengan  Hasil survei Median yang dipublikasikan  Senin (16/4/2018), yang  menunjukkan bahwa  46,37 persen responden menginginkan Pilpres 2019 jadi ajang mengganti presiden. Namun 45% responden lainnya menginginkan Jokowi kembali memimpin untuk periode kedua. Masih ada 8,41% responden yang tidak menjawab (lihat:

Hasil survei dari berbagai lembaga survei menunjukkan hasil yang bervariasi, bahkan elektabilitas petahana tidak terlalu dominan, yaitu masih sekitar 50 persen bahkan ada survei yang memberikan angka yang lebih rendah. Misalnya, hasil Survei Media Survei Nasional (Median) 24/3 sd 6/4/18; Jokowi 36,2 persen, PS 21,2 persen dan GN 7,0 persen. Selanjutnya, Survei Litbang Kompas 21/3 sd 1/4/18 Jokowi 55,9 persen, PS 14,1 persen dan GN 1,8 persen (detiknews 23/4/18). Demikian pula hasil Survey Cyrus 27/3 sd 3/4/18;  Jokowi 58,5 persen; PS 21,8 persen, dan GN 2 persen(lihat misalnya: 
https://news.detik.com/berita/d-3986763/gatot-yang-kini-tak-lagi-kandidat-capres-nol-koma. Ragam hasil ini memberikan indikasi bahwa peluang ketiga calon (calon lain) untuk memenangkan pertarungan masih terbuka apalagi waktu yang masih tersedia sekitar 1 tahun disertai pergerakan arah dukungan parpol yang masih sangat cair hingga detik-detik terakhir.

Meskipun hasil survei di atas menunjukkan bahwa petahana masih cukup terbuka untuk kembali terpilih tetapi ketidakjelasan siapa yang sungguh-sungguh menjadi lawan serta komposisi dan jumlah dukungan parpol akan mempengaruhi angka keterpilihan ke depan. Setelah terdapat kejelasan lawan atau penantang, statistik head to head akan lebih terlihat, dan masih ada waktu sekitar 1 tahun bagi petahana dan penantangnya untuk menaikkan elektabilitasnya masing-masing. Pergerakan politik yang dinamis dan berubah sewaktu-waktu termasuk pada detik-detik terakhir pencalonan akan mewarnai Pilpres ini ke depan.

Terlepas dari hasil dan kecendrungan di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis kemungkinan munculnya pesaing Jokowi, termasuk peluang munculnya poros ketiga, disamping dua  calon mainstream yang ada saat ini serta peluang keterpilihannya. Dalam analisis ini, penulis akan menggunakan data anggota DPR yang belum secara resmi mendukung Jokowi sebagai calon presiden 2019, yaitu Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS, dengan total kursi sebanyak 223 kursi (39,82 %) dan sebagai cadangan adalah PKB sebanyak 47 kursi sehingga total menjadi 270 kursi (48,21). PKB dimasukkan dalam analisis karena pergerakan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang ofensif untuk menjadi Cawapres Jokowi menjadi pertimbangan yang lalu jika tidak diakomodir (dan tidak ada deal yang menguntungkan PKB) maka kemungkinan akan keluar dari kubu Jokowi dan membentuk Poros baru dengan tetap mengusung Cak Imin sebagai cawapres kubu yang baru.  Dengan membaca data ini, maka tanpa PKB menyebrang (keluar dari kubu Jokowi) maka akan hanya satu penantang yang mungkin terjadi, tetapi kalau PKB ikut serta maka terbuka peluang untuk poros ketiga. Tulisan ini akan mencoba menakar kemungkinan-kemungkinan ini serta terkait dengan peluang keterpilihan pasangan calon pada Pilpres 2019.

Skenario hanya ada Poros kedua

Saat ini yang kita saksikan di media sosial, yang muncul sebagai penantang utama Jokowi yaitu lawan yang sama pada tahun 2014, Prabowo Subianto (PS) yang sampai saat ini masih memiliki elektabilitas tertinggi setelah Jokowi. Namun, akhir-akhir ini muncul indikasi kalau Prabowo belum mantap untuk maju di samping karena belum dapat tiket resmi untuk menjadi calon karena Gerindra hanya memiliki 73 kursi (13,4 %) kurang dari syarat minimal (20 %). Dengan posisi ini maka wajar kalau PS belum mau mengumumkan pencalonannya karena belum ada kepastian dukungan untuk memperoleh tiket Pilpres, meskipun PKS sudah memberikan indikasi kuat untuk itu. Namun demikian ada beberapa skenario lain yang bisa terjadi dalam poros kedua ini.

Pertama, poros Gerindra dan PKS yang dalam perkembangan selama ini dianggap sebagai pasangan yang "setia". Gabungan kedua partai ini menghasilkan kursi DPR RI sebanyak 113 kursi atau 20,18 persen sehingga memenuhi syarat pencalonan minimal untuk Pilpres 2019. Meskipun skenario ini bisa saja bubar kalau tidak ada kesepakatan tentang pasangan calon yang diusung, karena tanda-tanda untuk ini muncul karena pandangan elit PKS ada yang berbeda dalam hal Capres yang diusung termasuk belum disepakatinya siapa Cawapresnya.
Kedua, Poros Gerindra dan Demokrat yang kalau digabung kursinya mencapai  134 atau 23,93 persen sehingga cukup juga untuk mengusung pasangan calon. Namun demikian, poros ini sedikit ada ganjalan karena Demokrat memberi sinyal untuk mencalonkan diluar PS, belum lagi negosiasi tentang siapa cawapresnya. Sejarah masa lalu antara PS dan SBY yang membuat poros ini agak sulit terwujud.
Ketiga, Poros Gerindra dan PAN yang Gabungan kedua partai ini memiliki 122 kursi atau 21,78 persen, artinya memenuhi syarat untuk mengusung pasangan calon. Kemungkinan ini memiliki peluang besar untuk terjadi karena sudah pernah berkoalisi sebelumnya meskipun setelah Pilpres usai dan dimenangkan oleh Jokowi, ditengah jalan PAN bergabung dalam gerbong pemerintah, tetapi untuk Pilpres 2019 terlihat berpikiran lain.
Keempat, Poros Gerindra, PKS, dan PAN memiliki jumlah kursi lebih besar yaitu sebanyak 162 atau 28,93 persen. Koalisi dimungkinkan kalau ketiganya memiliki kesamaan visi untuk mencalonkan PS atau yang direstui oleh PS dengan cawapres yang juga menjadi kesepakatan.
Kelima, Poros Demokrat, PKS, dan PAN yang memiliki kursi sebanyak 150 kursi atau 26,79 persen. Poros ini memungkinkan terjadi kalau PKS, PAN dan Demokrat berkoalisi menggagas calon lain di luar PS, dan dengan skenario ini maka PS gagal menjadi calon dan mungkin saja balik mendukung Jokowi meskipun peluang ini sangat kecil. Bahkan lebih memungkinkan PS bergabung ke poros baru yang lebih gemuk yaitu poros keenam, yaitu Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS dan ini akan menjadi koalisi penantang yang cukup besar yaitu 223 kursi atau 39,82 persen. Poros ini menjadi ancaman terberat bagi petahana kalau berhasil terbentuk. dan bertindak sebagai king maker bersama dengan SBY.  Kalau peluang ini terbuka maka Jokowi harus bekerja ekstra keras untuk kembali duduk dalam kursi presiden dan bahkan kemungkinan besar ganti presiden akan terwujud di 2019.


Skenario Poros Ketiga

Mungkinkah skenario poros ketiga akan muncul? Pertanyaan menarik karena kemungkinan untuk ini sebenarnya kecil karena keempat partai yang sekarang terlihat "bersebrangan" yang dibahas di atas tidak cukup untuk membentuk dua poros baru, sehingga melahirkan tiga pasangan. Skenario ini dimungkinkan jika partai yang sekarang di kubu Jokowi keluar, misalnya PKB dan/atau PPP membangun koalisi di luar Jokowi, karena kalau ini tidak terjadi maka peluang untuk terjadinya poros ketiga akan tertutup. Namun demikian, dalam poitik kemungkinan ini bisa saja terjadi bahkan pada saat-saat terakhir pendaftaran pasangan calon sekalipun.

Skenario poros ketiga ini punya kemungkinan terbangun  kalau ada tambahan dukungan dari PKB dan/atau PPP. Skenario ini juga bisa terjadi jika Gerindra hanya berpasangan dengan hanya satu partai lain, apakah PKS atau PKB atau PAN atau Demokrat tetap solid untuk mencalonkan PS,  Gabungan ketiga partai akan memperoleh 157 kursi (28,04 persen). Kemungkinan semakin mengecil akhir-akhir ini setelah ada indikasi bahwa PS diupayakan menjadi cawapresnya Jokowi, walaupun peluang terjadinya hal ini juga sangat kecil dan bahkan bisa menjadi menjadi bumerang bagi pasangan ini karena bisa menjadi sentimen negatif baik dari pendukung PS sebelumnya dan pendukung netral lainnya. Dan ini tentu saja akan menguntungkan pasangan dari poros kedua,misalnya gabungan Demokrat, PAN, dan PKS, dan mungkin juga PKB dan PPP.

Namun demikian, semua skenario di atas bisa berubah drastis dan bahkan tidak terjadi sama sekali jika Demokrat dan Gerindra tiba-tiba bergabung ke kubu Jokowi sehingga skenario calon tunggal bisa terjadi karena partai yang tersisa yaitu PAN dan PKS tidak cukup untuk mengusung satu pasangan calon, walaupun peluangnya sangat kecil. Peluang terbesar tentunya adalah poros kedua pasti akan muncul karena ketiga partai yaitu Gerindra, PAN, PKS, dan kemudian Demokrat memberikan sinyal kuat bahwa tidak akan bergabung dengan kubu pemerintah.

Keberadaan Gatot Nurmantyo (GN)

Kalau melihat perkembangan terbaru tentang arah dukungan pencalonan presiden, GN muncul sebagai  menjadi penantang baru Jokowi yang potensial. Sejak keberpihakan nya pada aksi 212 dan menginstruksikan diputarnya Film G30S PKI di kalangan prajurit TNI ketika isu PKI disorot oleh banyak kalangan (terutama "Islam kanan") dan tentu ini mengundang simpati dari kelompok tersebut, termasuk dengan dibubarkannya HTI. Hal ini membuat popularitas GN meningkat tajam sebagai kandidat yang bisa didorong untuk menantang Jokowi pada Pilpres 2019. Kondisi ini semakin menguat setelah Jokowi akhirnya harus memberhentikan GN dari Jabatan Panglima sebelum waktunya (sebelum memasuki masa pensiun). Ini kemudian membuat GN kehilangan panggung untuk sementara karena sebagai prajurit, beliau juga tidak bisa membicarakan politik termasuk peluangnya menjadi calon presiden 2019, sehingga terkesan hilang dari peredaran. Segera setelah pensiun, beliau memberikan sinyal yang kuat bahwa beliau akan siap mengabdi untuk bangsa dan negara termasuk menjadi presiden kalau mendapat kepercayaan dari rakyat.

Sinyal tentang semakin terbukanya peluang GN menjadi calon alternatif ini semakin menguat setelah menyimak pernyataan dari para tokoh politik dari PKS, PAN dan Demokrat. Politisi PKS seperti Nasir Jamil termasuk yang secara terang-terangan menunjukkan dukungannya terhadap GN sebagai kandidat yang layak didukung oleh PKS. Petinggi PAN juga memberikan indikasi bahwa GN berpeluang untuk juga dicalonkan oleh PAN sebagai capres 2019, seperti yang dilansir di detikcom seperti  https://news.detik.com/berita/d-3986722/dekat-dengan-amien-rais-gatot-ditimbang-pan-untuk-pilpres-2019 dan https://news.detik.com/berita/3986674/elektabilitas-jokowi-tinggi-pan-ingin-usung-capres-lain. Dalam perkembangan terbaru, SBY tiba-tiba mengeluarkan pernyataan, bahwa InsyaAllah akan ada pemimpin baru yang amanah di 2019 yang sekaligus mengindikasikan bahwa PD kemungkinan tidak jadi bergabung atau membangun koalisi dengan Jokowi, dan cendrung akan menakhodai poros baru, coba baca:
https://news.detik.com/berita/3985666/sby-insyaallah-ada-pemimpin-baru-yang-amanah-di-2019. GN sebagai mantan ajudan SBY tentu saja memiliki peluang yang terbuka untuk dicalonkan menjadi capres demokrat pada tahun 2019. Walaupun elektabilitas GN masih relatif kecil, tetapi fenomena akhir-akhir ini bisa menghasilkan lain dan memungkinkan elektabilitas nya meningkat kalau kepastian pencalonan nya diperoleh. Sampai saat ini paling tidak sudah ada delapan kelompok relawan yang tumbuh secara alamiah yang mendukung pencalonan GN yang mencerminkan ada keinginan kuat dari masyarakat agar beliau maju. Argumen-argumen di atas memberikan indikasi yang kuat tentang keberadaan GN sebagai strongest rival dari petahana pada Pilpres 2019.

Islam Nasionalis Vs "Islam Kanan"

Meskipun Indonesia ini bukan negara Agama, peran agama dan kecendrungan politik agama tetap menjadi penting dalam perpolitikan Indonesia. Gerakan 212 telah membangun kesadaran beragama yang semakin kental di masyarakat sebagai indikasi mulai terbangunnya "Islam kanan" yang dalam konteks ini menjadi "gangguan" bagi Islam nasionalis. Keberadaan kelompok "Islam kanan" ini akan menjadi kunci kemenangan pada Pilpres 2019. Kalau mengacu kepada Pilgub DKI 2017 yang lalu, fenomena keberadaan kelompok "Islam kanan" ini oleh media barat sebagai kunci kemenangan bagi Anies-Sandi. Kalau pada pilpres 2019 bisa menghadirkan calon presiden yang bisa mendapat simpati dari kelompok Islam nasionalis dan/atau kaum abangan sekaligus "Islam Kanan" maka memiliki peluang yang terbuka untuk mengalahkan Jokowi. Ini sangat mungkin jika bisa terbentuk koalisi yang lebih besar menjadi penantang petahana yaitu kalau kelompok "hijau" yang lain  bergabung, dalam hal ini PKB dan PPP, tentu saja PBB, maka akan memiliki kursi sebanyak  270 buah atau 48,21 persen dan ini memungkinkan bergabung nya Islam nasionalis-kanan sebagai kunci kemenangan pertarungan. Di atas kertas kalau ini terjadi maka peluang Jokowi untuk dua periode akan sangat sulit tercapai sehingga tagline #2019GantiPresiden betul-betul terwujud.  Namun demikian, sebagai ummat beragama maka takdir Allah SWT akan menjadi putusan akhir.


Dalam satu tahun ke depan,  akan selalu ada intrik-intrik politik yang dimainkan untuk meningkatkan elektabilitas. Kata kuncinya adalah hanya satu yaitu bagaimana memelihara basis politik yang sudah dimiliki dan menambahnya dari kubu yang "lain". Strategi ini yang selama ini dimainkan oleh kubu petahana untuk membesarkan basis dukungannya. Ini antara lain dilakukan dengan memanfaatkan dualisme kepentingan - potensi konflik baik dalam partai politik maupun organisasi massa. Hal ini bisa dikaitkan dengan memanfaatkan kemelut partai politik dan perbedaab kepentingan  dan pemerintah memberi sinyal dukungan yang kuat bagi mereka yang lebih cendrung kepada pemerintah yang berujung pada bergabungnya partai-partai yang merupakan pendukung PS sebelumnya, sebutlah Golkar dan PPP ke kubu pemerintah dan memperoleh jatah kursi. Hal ini juga mungkin yang terjadi dengan fenomena akhir-akhir ini mengenai PA 212 yang merupakan Presidium 212 mendatangi istana dan sowan dengan Presiden Jokowi, yang walaupun dalam jumpa persnya mengatakan tidak ada deal-deal politik, tetapi paling tidak memberikan sinyal bahwa "seakan-akan" bahwa 212 sudah merapat ke istana. PA 212 yang merupakan singkatan  Persaudaraan Alumni 212 tidak lagi mengakui adanya Presidium Alumni 212 karena pada musyawarah nasional terakhir sudah berubah menjadi Persaudaraaan Alumni 212. Ini tentu saja merupakan strategi petahana untuk meraup berapapun dukungan dari kelompok ini, yang saya indikasikan sebagai kelompok "Islam kanan" dan pada beberapa waktu terakhir ini sejak kasus Ahok, Habib Rizieq, dan HTI mengalami degradasi kepercayaan kepada pemerintahan saat ini. Akhirnya, siapapun calon presiden yang bisa memelihara basis suaranya dan mampu mampu menambah pundi-pundi suara dari luar basis utamanya akan bisa memenangkan pertarungan Pilpres 2019.


Penutup


Kalau dilihat dari konfiguasi partai politik yang ada saat ini maka skenario yang paling mungkin terjadi adalah akan adanya penantang Jokowi pada Pilpres 2019, dan tidak terbuka kemungkinan akan lahir poros ketiga (terutama jika mereka berpendapat PS tidak akan bisa memenangkan pertarungan 2019).Kalau kita cermati lembaga survei sebagai konsultan politik pasangan atau afiliasi dengan pasangan yang cendrung menghasilkan yang berbeda tergantung kedekatan dan afiliasi tersebut. Saya selalu mengatakan bahwa "politics is the art of possibilities", apapun bisa terjadi, hitam jadi putih, putih jadi hitam, atau hijau jadi merah, atau merah jadi hijau, karena daalam politik yang abadi hanyalah kepentingan. Dan kepentingan terbesar dari partai politik adalah kekuasaan apapun levelnya. Dalam politik demokrasi Indonesia yang belum matang ini, tujuan meraih kekuasaan jauh lebih dominan dibandingkan nilai-nilai perjuangan partai itu sendiri. Dengan demikian, dalam kondisi ini sebetulnya peluang siapapun menjadi pemenang pada kancah Pilpres 2019 masih sangat terbuka, jika kondisi-kondisi dan momentumnya tepat. Wallahu'alam bissawab.

No comments:

Ide Tambahan Masa Jabatan Presiden

Setelah wacana presiden tiga periode mereda, kini muncul ide yang lebih gila lagi yaitu perpanjang masa jabatan presiden tiga tahun lagi. Id...