Saturday, November 22, 2014

KONTROVERSI KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI BBM: Subsidi Uang Vs Subsidi Barang


Prakata

Tulisan ini dibuat untuk merespon kontroversi yang terjadi dalam kaitannya dengan kebijakan pengurangan  subsidi lanjutan yaitu sebesar Rp. 2.000 per liter baik untuk Premium maupun Solar yang dilakukan oleh pemerintah JOKOWI-JK pada Hari Senin, 17 Nopember 2014. Kenaikan harga akibat pengurangan subsidi ini dinilai oleh banyak pihak berdasarkan argumen masing-masing, apakah politik, budaya, sosial, maupun ekonomi sangatlah merugikan masyarakat. Dalam tulisan ini, saya akan hanya meninjaunya dari aspek politik ekonomi, sesuai dengan kapasitas yang saya punya.

Argumen utama pemerintah Jokowi-JK untuk mengurangi subsidi BBM ini sebetulnya tidak semata-mata dipengaruhi oleh naik turunnya harga minyak dunia, tetapi mereka lebih melihat bahwa subsidi BBM tersebut tidak tepat sasaran (bisa jadi salah bentuk dari misallocation of resources) karena ternyata lebih banyak menguntungkan mereka yang berpunya (banyak mobil dan motor) ketimbang orang  miskin, yang konsumsi BBM nya sangat sedikit atau tidak sama sekali. Dengan pengurangan subsidi tersebut di atas, pemerintah akan memperoleh dana Rp. 140 triliun untuk diarahkan kepada program yang lebih produktif (Infrastruktur pertanian, jalan, jembatan, dan kegiatan ekonomi produktif) termasuk subsidi tunai untuk masyarakat miskin. Dengan pandangan ini maka lebih baik uang subsidi tersebut dialihkan ke pada yang lebih berhak menerimanya dam/atau kegiatan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Politik Ekonomi Kebijakan Kesejahteraan

Dalam teori ekonomi, kenaikan harga barang apapun tentu akan mengurangi kesejahteraan konsumen (consumer surplus), siapapun dia. Cuma saja, mereka yang berpendapatan rendahlah yang paling merasakan dampaknya yang luar biasa, dan semakin tinggi penghasilan dampaknya terasa semakin kecil. Dan harus dimaklumi bahwa apapun kebijakan yang diambil pemerintah (public policy) selalu mempunyai trade off – jika ingin memperoleh sesuatu maka harus ada sesuatu yang harus dikorbankan – namun demikian dalam konteks ini teori ekonomi kesejahteraan juga memberikan panduan bahwa kebijakan yang baik dan optimal haruslah memenuhi kriteria optimal Pareto (Pareto Optimality) – the best choice: “ at least one better off and no-one worse off” atau the second best: “sejauh benefit dari suatu kebijakan bisa mengkompensasi the losers (yang terkena dampak), maka kebijakan publik itu sudah OK.

Dalam konteks Politik Ekonomi dua target utama dalam suatu perekonomian suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi tersebut yang adil dalam masyarakat. Target yang kedua itulah yang terkait dengan kebijakan subsidi tersebut, yang menjadi sorotan utama dari tulisan ini.

Dalam suatu negara, selalu ada, kalau dibagi dua, ada kelompok yang beruntung atau berpunya (the have, the gainers) dan ada kelompok yang tidak beruntung atau tidak berpunya (the poor, the have not, the losers). Salah satu kebijakan penting dari suatu negara adalah bagaimana antara lain gap pendapatan  antara kedua kedua kelompok ini melalui kebijakan distribusi. Semakin merata atas kecil gapnya, maka kebijakan distribusi ini berhasil.

Oleh karena itu, dalam kajian Ekonomi Kesejahteraan (welfare economics) dalam rangka mengatur distribusi pendapatan (kue nasional) diantara kelompok masyarakat, dikenal istilah kebijakan kesejahteraan (welfare policy) dalam rangka membantu keluarga miskin (yang berpendapatan rendah) melalui kebijakan distribusi. Tingkat efisiensi distribusi yang  tinggi dicerminkan oleh semakin banyaknya dana yang didistribusi kepada yang berhak, dari pihak lain (pemerintah). Target kebijakan kesejahteraan adalah (1) mereka yang berhak untuk dibantu, (2) menghindari memberikan bantuan kepada yang tidak berhak, (3) Mempertahankan insentif individu untuk berpenghasilan, mempertahankan insentif untuk bekerja, (4) Mempertahankan biaya administrasi kebijakan kesejahteraan pada tingkat yang rendah.

Subsidi Barang Vs Subsidi Uang

Pilihan kebijakan kesejahteraan melalui kebijakan subsidi dalam bentuk uang(money) atau subsidi dalam bentuk barang (in kind), atau kebijakan pajak pendapatan negatif (negative income tax) sudah mendapat perhatian dan perdebatan sejak lama dilihat dari kelebihan dan kekurangannya.  Individu akan lebih senang kalau diberi uang. Tapi jika yang diberi bantuan makanan kemudian dijual di pasar gelap dengan harga yang lebih murah dari sebenarnya. Dengan demikian, jika masyarakat diberikan bantuan atau subsidi uang maka lebih menguntungkan mereka, lebih sejahtera. Dengan memperoleh bantuan barang, masyarakat juga memperoleh benefit, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan  subsidi uang. Kekurangan subsidi barang adalah antara lain tidak ada fleksibilitas dalam pemanfaatannya. Kelemahan lainnya adalah sasaran subsidi barang adalah mereka yang mengkonsumsi barang tersebut tidak  terkecuali status sosial dan ekonomi konsumennya, sehingga akan ada sebagian dari mereka yang tidak seharusnya memperoleh subsidi ikut menikmatinya. Sedangkan dengan bantuan tunai menjadi sangat fleksibel untuk digunakan sesuai dengan prioritas masing-masing individu, tiap individu akan memanfaatkannya menurut yang terbaik bagi mereka. 

Kebijakan subsidi tunai inilah yang diwujudkan oleh Jokowi JK khususnya untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)- family welfare. Kebijakan bantuan uang tunai inilah yang banyak diterapkan di negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan banyak negara lain di dunia. Kebijakan kesejahteraan bantuan tunai ini haruslah dihitung dengan cermat agar tetap bisa mempertahankan insentif individu untuk berpenghasilan dan aktif untuk mencari pekerjaan. Biasanya sekitar 30-40 persen dari upah minimum yang berlaku atau penghasilan minimun untuk tidak masuk kategori miskin. Yang paling penting adalah baga

Kebijakan subsidi dalam bentuk tunai dalam jangka panjang akan menjadi permanen. Selain itu, masyarakat miskin harus dijamin pendapatan minimum (guaranteed minimum income system) , yang dibanyak negara dikenal dengan istilah Social Security, Social Benefit, dan lain sebagainya. Kebijakan lebih lanjut adalah adalah sampai pada level tertentu pemerintah juga bisa menerapkan kebijakan pajak pendapatan negatif (negative income tax) bagi kelompok miskin. Pajak pendapatan negatif adalah sistem pajak pendapatan progresif di mana orang yang memperoleh pendapatan dibawah pendapatan minimum yang dijamin  tidak membayar pajak tetapi justru memperoleh tambahan pendapatan dari pemerintah. Dalam hal ini  pemerintah harus menset pendapatan minimum yang dijamin dan  bagi mereka yang memiliki  penghasilan dibawah yang pendapatan minimum tersebut pemerintah menerapkan kebijakan pajak negatif berupa tambahan agar masyarakat termiskin mempunyai tingkat kehidupan yang layak.

Penutup

Terlepas kontroversi dalam merespon “kenaikan harga” BBM (akibat dari pengurangan subsidi), menurut teori ekonomi kesejahteraan, pergeseran dari kebijakan subsidi barang ke subsidi orang merupakan kebijakan yang baik yang bisa meningkatkan kesejahteraan kelompok terbawah. Pada masa depan justru pemerintah harus sudah mulai mengkalkulasi tingkat pendapatan masyarakat mininum yang dijamin pemerintah. Masyarakat yang memperoleh pendapatan di bawah tingkat tersebut akan memperoleh tambahan pendapatan dari pemerintah melalui kebijakan pajak pendapatan negatif. Sebagai suatu negara yang baru mulai merangkak menjadi menjadi negara maju, tujuan ideal seperti itu masih butuh waktu untuk dikembangkan yang diiringi dengan usaha serius untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.


No comments:

Ide Tambahan Masa Jabatan Presiden

Setelah wacana presiden tiga periode mereda, kini muncul ide yang lebih gila lagi yaitu perpanjang masa jabatan presiden tiga tahun lagi. Id...