Sunday, April 28, 2013

Disparitas Harga BBM dan Dilema "Moral Hazard" dan Rent Seeking"

Subsidi BBM dan Beban Pemerintah

 Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Indonesia super sibuk memikirkan bagaimana mengatasi melonjaknya subsidi BBM yang terjadi, karena adanya gap yang semakin besar antara harga pasar BBM dunia dan harga subsidi yang berlaku di Indonesia. Pemerintah harus mengeluarkan dana yang tidak kecil untuk sesuatu yang tidak terlalu penting dan yang tidak signifikan manfaatnya, padahal dana subsidi tersebut bisa dimanfaatkan lebih efektif melalui alokasi pembangunan yang lain. Coba perhatikan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013, yang sebelumnya telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI pada 23 Oktober 2012, dari total Anggaran Belanja sebesar Rp 1.683,011 triliun itu, sebanyak Rp 193,805 triliun dianggarkan untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), subsidi listrik sebesar Rp 80,937 triliun, subsidi pangan sebesar Rp 17.197 triliun, subsidi pupuk sebesar Rp 16.228 triliun, subsidi benih sebesar Rp 1,454 triliun, subsidi dalam rangka kewajiban pelayanan umum (PSO) sebesar Rp 1,521 triliun, subsidi kredit program Rp 1,248 trilium, dan susidi pajak Rp 4,825 triliun. Tentu saja besarnya subsidi BBM dan lainnya tersebut  merupakan beban yang besar bagi pemerintah dan  masyarakat. Dengan melihat besarnya subsidi ini terkesan bahwa pemerintah yang kerap dikecam sebagai "neo liberalism" sedikit terbantahkan.

Dalam politik ekonomi (political economy) terutama mereka yang menganut sistem ekonomi mainstream (liberal atau kapitalis), kebijakan subsidi merupakan salah satu bentuk distorsi pasar yang "tidak kondusif" bagi suatu perekonomian. Surplus konsumen yang besar dengan rendahnya harga BBM ini adalah sesuatu kondisi yang artifisial karena sesungguhnya surplus itu  diberikan atau ditanggung pemerintah, yang duitnya juga dari rakyat. Subsidi harga ini bahkan lebih banyak menguntungkan konsumen berkantung tebal (konsumsi BBM tinggi) dibandingkan bagi masyarakat miskin. Jadi kebijakan subsidi BBM ini lebih menguntungkan para elit ketimbang rakyat jelata.

Masalahnya, pemerintah SBY terlihat ragu-ragu unruk mengurangi subsidi ini dengan menaikkan harga BBM, tentu saja karena alasan politik dan keamanan. Kelambanan pemerintahan SBY untuk menentukan sikap ini juga menimbulkan banyak ketidakpastian di masyarakat. Banyak kalangan menuding bahwa pemerrintah SBY terlalu "soft" untuk menghadapi masalah-masalah krusial, termasuk dalam persoalan subsidi BBM ini. Meskipun SBY memiliki legitimasi yang kuat dari  masyarakat, tidak serta merta menghasilkan pemerintah yang kuat dan tegas dalam mengambil kebijakan. Ini sesuatu yang patut disayangkan. Karena sesungguhnya setiap kebijakan politik akan selalu mempunyai implikasi sosial ekonomi dan politik baik positif dan negatif, sehingga analisis kebijakan yang komprehensif dan cermat harus dilakukan untuk menentukan apakah kebijakan pengurangan subsidi itu "layak" untuk diambil atau tidak.

Dual price cerminan keragu-raguan dan ketidaktegasan pemerintah

Rencana kebijakan pemerintah Indonesia untuk menerapkan dua harga untuk BBM sekarang tengah menuai kontroversi. Hal ini sangat mudah dimengerti karena dalam penerapannya  akan mengalami masalah teknis selain dampak sosial serta psikologis terhadap masyarakat pengguna BBM. kebijakan ini menurut saya pribadi merupakan cerminan dari keragu-raguan pemerintah untuk mengambil resiko dari kebijakan kenaikan harga yang akan dilakukan.

Kalau dikaji lebih jauh bahwa kebijakan disparitas harga untuk mobil pribadi/dinas dan mobil kuning sesungguhnya bukanlah kebijakan yang membantu konsumen atau orang, tetapi cendrung subsidi untuk "kendaraan", karena pada kenyataannya yang banyak memiliki motor juga adalah orang kaya atau berduit. Disamping itu yang memiliki mobil kuning juga adalah mereka yang memiliki duit juga dan mereka juga memiliki banyak mobil pribadi dan motor, sehingga kebijakan tidak sepenuhnya mencapai sasaran yang diinginkan.

Disamping itu, secara teknis, pelaksanaan dua harga akan menghadapi kendala dalam pengaturan distribusi dan alokasi BBM, terutama di daerah-daerah terpencil di mana fasilitas  stasiun BBM pertamina yang sangat terbatas. Ada kemungkinan bahwa para pengguna BBM akan menuntut harga subsidi, walaupun mereka memiliki kendaraaan yang berplat hitam  dengan argumentasi bahwa kendaraan tersebut digunakan untuk kegiatan bisnis. Ada potensi kekisruhan di stasiun Pertamina kalau ada pihak-pihak yang memaksakan hal ini.


Dilema "moral hazard" dan "rent seeking behaviour"

Istilah "moral hazard (MH)" dan "rent seeking behaviour (RSB)" ini merupakan termimologi yang populer dalam politik ekonomi  terutama terjadi pada kondisi yang distortif dan tidak kondusif. Dalam terminologi ekonomi, MH  adalah suatu situasi dimana satu pihak mempunyai kecendrungan untuk mengambil resiko karena biaya yang ditimbulkannya tidak dirasakan oleh pihak yang mengambil resiko tersebut. Dengan kata lain, itu merupakan suatu tendensi untuk lebih ingin mengambil resiko karena mengetahui bahwa biaya atau beban potensial untuk mengambil resiko itu ditanggung oleh pihak lain. Dalam hal ini, MH timbul karena seorang individu atau institusi tidak mengambil semua akibat dan tanggungjawab dari aksinya, dan karenanya mempunyai tendensi untuk bertindak kurang hati-hati, dan membiarkan pihak atau orang lain untuk mengambil tanggung jawab terhadap konsekuensi dari aksinya tersebut. Sedangkan rent-seeking behaviour, dalam teori "public choice", diartikan sebagai suatu perilaku dan/atau usaha untuk memperoleh rente ekonomi dengan memanipulasi lingkungan sosial dan politik di mana kegiatan ekonomi itu terjadi, ketimbang menciptakan suatu kegiatan ekonomi atau kekayaan baru.

Dalam kaitannya dengan penerapan harga ganda BBM ini, kalau dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya maka merupakan potensi lahirnya perilaku MH dan RSB dari mereka yang berhak memperoleh BBM subsidi dan mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Bisa saja mereka-mereka yang mempunyai kendaraan bisnis untuk menimbun BBM dan menjualnya kembali ke masyarakat dengan harga non subsidi sebagai bentuk prilaku RSB tersebut. Kalau ini terjadi maka keinginan pemerintah untuk menghemat dana subsidi BBM menjadi sangat tidak efektif. Selain itu pemerintah akan menghadapi biaya sosial yang tinggi tidak hanya karena kekisruhan yang mungkin timbul, tetapi juga biaya administrasi dan pengawasan pelaksanaannya.

Apa yang mesti dilakukan?

Saya lebih condong ke pada pandangan pak Yusuf Kalla dalam hal ini, yaitu menaikan harga tunggal ke tingkat yang "wajar". Mengutip kata beliau '' kebijakan yang mudah kok mau dibuat susah" dan ini adalah
sebagai cerminan kegelisahan beliau tentang rencana pemerintah untuk menerapkan disparitas harga BBM ini. Memang secara teori ekonomi, kenaikan harga tentu saja akan menimbulkan dampak inflasi tidak hanya karena naiknya harga BBM sendiri tetapi juga dampaknya terhadap naiknya biaya produksi terkait dengan BBM sehingga bisa mendorong naiknya harga barang. Hal ini adalah sesuatu yang wajar sebagai suatu konsekuensi pasar. Tetapi sesungguhnya, kenaikan harga barang pada suatu sisi, khususnya pada sisi produsen merupakan sesuatu yang positif, karena akan mendorong peluang investasi dan ekspansi usaha. Kemajuan ekonomi, khususnya dalam hal ini sektor rill, pada gilirannya akan mendorong adanya kenaikan upah dan perbaikan ekonomi secara keseluruhan. Meskipun hal ini merupakan visi jangka panjang dari kebijakan pencabutan atau pengurangan subsidi.

Dalam jangka pendek, tentu saja, akan menimbulkan shock dan dampak negatif terhadap masyarakat terutama konsumen, karena kenaikan harga tidak serta merta diikuti oleh kenaikan penghasilan, terutama bagi mereka yang berpenghasilan tetap, terlebih lagi kalangan miskin. Harga yang tinggi menyebabkan surplus konsumen yang semakin kecil dengan semakin rendahnya daya beli. Kalau begitu, apa yang mestinya dilakukan pemerintah.

Langkah yang paling penting adalah bagaimana mengatasi dampak negatif terhadap konsumen BBM dan yang terimbas karenanya. Pengurangan subsidi BBM akan menaikkan pundi duit pemerintah untuk kepentingan lain. Kalau harga baru BBM dinaikkan menjadi Rp. 6.500 per liter, penghematan subsidi BBM bisa mencapai sekitar Rp. 60 triliun, sehingga dana ini sangat signifikan untuk digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Mungkin  kebijakan lain adalah bagaimana membangun sistem yang permanen yang terkait dengan "social security  system (SSM)" yang dibangun secara nasional, bukan seperti kebijakan BLT yang insidental dan tendensius politis. Penduduk yang berpenghasilan rendah dan/atau miskin memperoleh skim SSS tersebut, bisa saja mengadopsi apa yang dilakukan oleh JOKOWI di DKI Jakarta, yaitu dengan menerbitkan "Kartu Indonesia Pintar" dan "Kartu Indonesia Sehat" atau bentuk lain. Di Australia, misalnya, mereka yang memperoleh penghasilan rendah atau miskin memperoleh "social benefit card", yang memungkinkan mereka untuk memperoleh layanan gratis (kesehatan dan pendidikan) serta "kebijakan 1/2 harga untuk pelayanan yang lain (air, listrik, tiket bus, tiket tontonan, dll). Memang kebijakan seperti ini relatif mahal, tetapi dengan membatasi subsidi maka akan tersedia dana yang memadai untuk membangun sistem jaminal sosial seperti itu. Tentu saja ini menjadi PR pemerintah, terutama kabinet mendatang. Semoga melalui pemilu legislatif dan Presiden serta pemimpin daerah ke depan melahirkan pemimpin yang serius membangun bangsa dan negara ini. Wallahu'alam bissawab...



No comments:

Ide Tambahan Masa Jabatan Presiden

Setelah wacana presiden tiga periode mereda, kini muncul ide yang lebih gila lagi yaitu perpanjang masa jabatan presiden tiga tahun lagi. Id...