Prakata
Tulisan ini dibuat untuk merespon kontroversi yang terjadi
dalam kaitannya dengan kebijakan pengurangan
subsidi lanjutan yaitu sebesar Rp. 2.000 per liter baik untuk Premium
maupun Solar yang dilakukan oleh pemerintah JOKOWI-JK pada Hari Senin, 17
Nopember 2014. Kenaikan harga akibat pengurangan subsidi ini dinilai oleh
banyak pihak berdasarkan argumen masing-masing, apakah politik, budaya, sosial,
maupun ekonomi sangatlah merugikan masyarakat. Dalam tulisan ini, saya akan
hanya meninjaunya dari aspek politik ekonomi, sesuai dengan kapasitas yang saya
punya.
Argumen utama pemerintah Jokowi-JK untuk mengurangi subsidi
BBM ini sebetulnya tidak semata-mata dipengaruhi oleh naik turunnya harga
minyak dunia, tetapi mereka lebih melihat bahwa subsidi BBM tersebut tidak
tepat sasaran (bisa jadi salah bentuk dari misallocation
of resources) karena ternyata lebih banyak menguntungkan mereka yang
berpunya (banyak mobil dan motor) ketimbang orang miskin, yang konsumsi BBM nya sangat sedikit
atau tidak sama sekali. Dengan pengurangan subsidi tersebut di atas, pemerintah
akan memperoleh dana Rp. 140 triliun untuk diarahkan kepada program yang lebih
produktif (Infrastruktur pertanian, jalan, jembatan, dan kegiatan ekonomi
produktif) termasuk subsidi tunai untuk masyarakat miskin. Dengan pandangan ini
maka lebih baik uang subsidi tersebut dialihkan ke pada yang lebih berhak
menerimanya dam/atau kegiatan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi.
Politik Ekonomi Kebijakan Kesejahteraan
Dalam teori ekonomi, kenaikan harga barang apapun tentu akan
mengurangi kesejahteraan konsumen (consumer
surplus), siapapun dia. Cuma saja, mereka yang berpendapatan rendahlah yang
paling merasakan dampaknya yang luar biasa, dan semakin tinggi penghasilan
dampaknya terasa semakin kecil. Dan harus dimaklumi bahwa apapun kebijakan yang
diambil pemerintah (public policy) selalu mempunyai trade off – jika ingin memperoleh sesuatu maka harus
ada sesuatu yang harus dikorbankan – namun demikian dalam konteks ini teori
ekonomi kesejahteraan juga memberikan panduan bahwa kebijakan yang baik dan
optimal haruslah memenuhi kriteria optimal Pareto (Pareto Optimality) – the best
choice: “ at least one better off and no-one worse off” atau the second best: “sejauh benefit dari
suatu kebijakan bisa mengkompensasi the losers (yang terkena dampak), maka
kebijakan publik itu sudah OK.
Dalam konteks Politik Ekonomi dua target utama dalam suatu
perekonomian suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan
dan kekayaan yang diperoleh dari pertumbuhan ekonomi tersebut yang adil dalam
masyarakat. Target yang kedua itulah yang terkait dengan kebijakan subsidi
tersebut, yang menjadi sorotan utama dari tulisan ini.
Dalam suatu negara, selalu ada, kalau dibagi dua, ada
kelompok yang beruntung atau berpunya (the
have, the gainers) dan ada kelompok yang tidak beruntung atau tidak
berpunya (the poor, the have not, the
losers). Salah satu kebijakan penting dari suatu negara adalah bagaimana
antara lain gap pendapatan antara kedua
kedua kelompok ini melalui kebijakan distribusi. Semakin merata atas kecil
gapnya, maka kebijakan distribusi ini berhasil.
Oleh karena itu, dalam kajian Ekonomi Kesejahteraan (welfare economics) dalam rangka mengatur
distribusi pendapatan (kue nasional) diantara kelompok masyarakat, dikenal
istilah kebijakan kesejahteraan (welfare
policy) dalam rangka membantu keluarga miskin (yang berpendapatan rendah)
melalui kebijakan distribusi. Tingkat
efisiensi distribusi yang tinggi
dicerminkan oleh semakin banyaknya dana yang didistribusi kepada yang berhak,
dari pihak lain (pemerintah). Target kebijakan kesejahteraan adalah (1) mereka yang berhak
untuk dibantu, (2) menghindari memberikan bantuan kepada yang tidak berhak, (3)
Mempertahankan insentif individu untuk berpenghasilan, mempertahankan insentif
untuk bekerja, (4) Mempertahankan biaya administrasi kebijakan kesejahteraan
pada tingkat yang rendah.
Subsidi Barang Vs Subsidi Uang
Pilihan kebijakan kesejahteraan melalui kebijakan subsidi
dalam bentuk uang(money) atau subsidi dalam bentuk barang (in kind), atau
kebijakan pajak
pendapatan negatif (negative income tax) sudah mendapat perhatian dan perdebatan sejak
lama dilihat dari kelebihan dan kekurangannya. Individu akan lebih senang kalau diberi uang. Tapi
jika yang diberi bantuan makanan kemudian dijual di pasar gelap dengan harga
yang lebih murah dari sebenarnya. Dengan demikian, jika masyarakat diberikan bantuan atau subsidi uang maka lebih
menguntungkan mereka, lebih sejahtera. Dengan memperoleh bantuan barang,
masyarakat juga memperoleh benefit, tetapi lebih rendah dibandingkan
dengan subsidi uang. Kekurangan subsidi
barang adalah antara lain tidak ada fleksibilitas dalam pemanfaatannya. Kelemahan lainnya adalah sasaran subsidi barang adalah mereka yang mengkonsumsi barang tersebut tidak terkecuali status sosial dan ekonomi konsumennya, sehingga akan ada sebagian dari mereka yang tidak seharusnya memperoleh subsidi ikut menikmatinya. Sedangkan dengan bantuan tunai menjadi sangat fleksibel untuk digunakan sesuai dengan prioritas masing-masing individu, tiap individu akan memanfaatkannya menurut yang terbaik
bagi mereka.
Kebijakan subsidi tunai inilah yang diwujudkan oleh Jokowi JK
khususnya untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)- family welfare. Kebijakan bantuan
uang tunai inilah yang banyak diterapkan di negara maju seperti Amerika
Serikat, Australia, Jepang, dan banyak negara lain di dunia. Kebijakan
kesejahteraan bantuan tunai ini haruslah dihitung dengan cermat agar tetap bisa
mempertahankan insentif individu untuk berpenghasilan dan aktif untuk mencari
pekerjaan. Biasanya sekitar 30-40 persen dari upah minimum yang berlaku atau
penghasilan minimun untuk tidak masuk kategori miskin. Yang paling penting adalah baga
Kebijakan
subsidi dalam bentuk tunai dalam jangka panjang akan menjadi permanen. Selain
itu, masyarakat miskin harus dijamin
pendapatan minimum
(guaranteed minimum income
system)
, yang dibanyak negara dikenal dengan istilah Social
Security, Social Benefit, dan lain sebagainya. Kebijakan lebih lanjut adalah adalah
sampai pada level tertentu pemerintah juga bisa menerapkan kebijakan pajak pendapatan negatif (negative income
tax) bagi kelompok miskin. Pajak pendapatan negatif adalah sistem pajak pendapatan
progresif di mana orang yang memperoleh pendapatan dibawah pendapatan minimum
yang dijamin tidak membayar pajak tetapi justru memperoleh tambahan pendapatan
dari pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus menset
pendapatan minimum yang dijamin dan bagi mereka yang memiliki penghasilan
dibawah yang pendapatan minimum tersebut pemerintah menerapkan kebijakan pajak
negatif berupa tambahan agar masyarakat termiskin mempunyai tingkat kehidupan
yang layak.
Penutup
Terlepas kontroversi dalam merespon “kenaikan harga” BBM
(akibat dari pengurangan subsidi), menurut teori ekonomi kesejahteraan,
pergeseran dari kebijakan subsidi barang ke subsidi orang merupakan kebijakan
yang baik yang bisa meningkatkan kesejahteraan kelompok terbawah. Pada masa
depan justru pemerintah harus sudah mulai mengkalkulasi tingkat pendapatan
masyarakat mininum yang dijamin pemerintah. Masyarakat yang memperoleh
pendapatan di bawah tingkat tersebut akan memperoleh tambahan pendapatan dari
pemerintah melalui kebijakan pajak pendapatan negatif. Sebagai suatu negara
yang baru mulai merangkak menjadi menjadi negara maju, tujuan ideal seperti itu
masih butuh waktu untuk dikembangkan yang diiringi dengan usaha serius untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
No comments:
Post a Comment