Wednesday, May 1, 2013

MAY DAY: Perjuangan Buruh yang Tiada Akhir


Apa itu May Day?

Tanggal 1 Mei, atau sering disebut dengan internatonal May Day atau Labor Day, atau Hari Buruh sedunia merupakan momen peringatan perjuangan bersejarah dari kaum buruh. Kalau melihat sejarahnya, peringatan Hari buruh ini mengacu pada kasus "the Haymarket affair" atau lebih dikenal dengan tragedi Haymarket yang dikaitkan dengan pengeboman pada demonstrasi kaum buruh pada tanggal 4 Mei 1886 di Pusat perbelanjaan Haymarket Square di Chicago, Amerika Serikat. Pada saat itu sebenarnya dilakukan demonstrasi damai untuk memperjuangkan 8 jam kerja per hari. Namun seseorang yang tidak dikenal melempar bom ke arah polisi yang membubarkan demostrasi tersebut yang selanjutnya menimbulkan "chaos" sehingga  menyebabkan 7 polisi meninggal, setidaknya 4 orang sipil, dan banyak lagi yang luka-luka.

Sampai saat ini, peringatan hari buruh sedunia sudah menjadi agenda tahunan kaum buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka, terutama masalah upah, walaupun akhir-akhir ini sudah menyangkut banyak hal, misalnya jaminal sosial tenaga kerja, bahkan politik. Perjuangan mereka umumnya melalui aksi demonstrasi, mogok kerja,  pemboikotan, dan lain-lain. Hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang sah-sah saja apalagi di negara demokrasi seperti di Indonesia.

Tulisan ini mencoba untuk memahami tentang persoalan ketenagakerjaan, khususnya di Indonesia, terutama kaitannya dengan dinamika pengupahan serta reaksi kaum buruh untuk terus memperjuangkan kesejahteraan mereka, walaupun sebenarnya antara pengusaha dan buruh adalah seperti dua sisi dari mata uang, yang kalau sisi yang satu hilang, maka uang itu tidaklah pernah ada.

Pengusaha vs buruh

Dalam teori ekonomi, khususnya ekonomi sumber daya manusia (human resource economics atau labor economics), persoalan upah dan ketenagakerjaan inilah yang menjadi substansi utama dari kajiannya. Dalam dunia ketenagakerjaan, ada dua pihak utama yang berkepentingan yaitu pengusaha atau pemberi kerja (employer) dan pekerja (employee). Kedua pihak ini mempunyai kepentingan sendiri-sendiri (self interest) yang cendrung bertolak belakang. Para pengusaha biasanya beorientasi pada konsep maksimisasi keuntungan (maximum profit), sementara pekerja mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kepuasannya (maximum utility) dari penghasilan atau upah yang diterima. Semakin tinggi besarnya upah yang diterima maka tingkat kepuasan atau utilitas pekerja menjadi lebih tinggi karena dengan upah yang lebih tinggi mereka bisa mengkonsumsi barang dan jasa lebih banyak. Sebaliknya, semakin rendah upah yang diterima maka tingkat kepuasannya akan semakin rendah pula.

Pada sisi pengusaha, pekerja atau buruh dipandang sebagai input dan/atau biaya, dengan demikian kalau upah pekerja atau upah tinggi maka menjadi beban pengusaha, sehingga bisa mengancam interest mereka untuk memaksimumkan keuntungan mereka.

Dalam pasar tenaga kerja, pengusaha memerlukan tenaga kerja untuk memproduksi barang mereka, sehingga mereka melakukan permintaan tenaga kerja (labour demand) yang jumlah dan kualitasnya ditujukan untuk mencapai kepentingan mereka, yantu profit maksimum. Pada sisi lain, menawarkan sejumlah jam kerja dengan ketrampilan atau keahlianya untuk menghasilkan upah atau penghasilan agar terpenuhi self interest mereka untuk mencapai kepuasaan tersebut. Interaksi antara kedua komponen inilah yang terjadi mekanisme pasar tenaga kerja, sehingga upah yang terbentuk akan menguntungkan buruh, pengusaha, atau kedua-duanya.


Upah rendah: kenapa dan ada apa?

Dalam pasar persaingan sempurna, upah yang terjadi dalam pasar kerja adalah akibat interaksi antara permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja. Upah pada titik keseimbangan tersebut dalam teori ekonomi adalah titik yang memaksimumkan keuntungan sosial, di mana baik produsen dan konsumen mendapat surplus yang "optimal". Persoalannya adalah apakah upah yang terbentuk dalam pasar persaingan itu selalu menguntungkan buruh? jawabannya adalah belum tentu?. Pada kondisi di mana jumlah penawaran tenaga kerja  jauh lebih besar dari jumlah permintaan tenaga kerja maka upah yang terbentuk bisa sangat rendah. Tentu saja hal ini terjadi pada kondisi suatu negara mengalami tingkat pengangguran yang relatif tinggi. Jika kondisi kebalikannya terjadi, maka tingkat upah akan terdorong ke atas (tinggi), tentu akan menguntungkan pekerja, tetapi tidak untuk perusahaan dan menekan tingkat penganngguran.

Pada kasus seperti Indonesia, di mana tingkat pengangguran yang tinggi serta proporsi orang miskin masih besar, maka kondisi pertamalah yang cendrung terjadi, karena pasar persaingan sempurna pun upah yang terjadi pasti akan rendah dan tentu saja merugikan pekerja. 

Pada kondisi demikian, terutama ketika pemerintah absen dalam mengambil peran atau berperan tidak efektif maka kondisi ketenagakerjaan terutama upah akan senantiasa merugikan kaum buruh. Perusahaan bisa "menekan buruh" dengan upah rendah, dan daya tawar buruh menjadi sangat rendah, dan tidak ada pilihan lain kecuali tetap bekerja, karena kalau menganggur kondisi ekonominya akan semakin parah. Kalau ini yang terjadi maka pembangunan ekonomi bangsa seakan-akan, kalau berhasil, maka itu karena berhasil menindas atau mengeksploitasi bangsanya sendiri.

Di mana peran pemerintah?

Dalam kondisi itulah maka perlu ada pihak ketiga yang menjembatani kedua kepentingan tersebut. Kalau pada keadaan di mana lapangan kerja terbatas, posisi pekerja menjadi lemah, sehingga yang bertindak sebagai pihak ketiga adalah pemerintah, yang di Indonesia dikenal dengan istilah TRIPARTIT (Pemerintah, swasta, dan organisasi buruh). Kebijakan yang paling penting yang dibicarakan ketiga pihak tersebut adalah kebijakan upah minimum, yaitu tingkat upah yang bisa memenuhi kebutuhan dasar buruh. Seberapa besar upah minimum ini yang harus diperlakukan, disinilah titik alotnya negosiasi ketiga pihak tersebut, untuk menentukan upah yang optimal bagi kedua belah pihak.

Biasanya pengusaha mengklaim bahwa mereka tidak cukup dana untuk membayar upah buruh yang terlalu tinggi. Alasan klasik yang sering diutarakan adalah produktivitas buruh yang masih rendah dan kalau biaya tenaga kerja tinggi maka perusahaan mereka tidak bisa bersaing, terutama pada era global ini. Karena upah tinggi maka pengusaha merasa tidak mampu dan perusahaannya akan rugi. Satu-satunya opsi dari mereka adalah melakukan rasionalisasi tenaga kerja atau bahasa lainnya pemutusan hubungan kerja alias PHK. Kalau ini terjadi maka akan menyebabkan tingkat pengangguran yang sangat tinggi. Apalagi kalau upah yang tinggi dipaksakan maka perusahaan bisa saja beralih dari perusahaan padat karya kepada padat modal dengan mengandalkan mesin-mesin produksi, sehingga pengangguran menjadi sulit terkendali. Pilihan lain yang dilakukan pengusaha adalah merelokasi tempat usaha ke daerah-daerah yang upah yang lebih murah bahkan bisa jadi ke negara-negara lain yang upahnya lebih rendah. Alasan berikutnya adalah ekonomi biaya tinggi (karena perijinan yang rumit, pungutan-pungutan, dan lain sebagainya) yang kemudian dibebankan sebagai biaya produksi, sehingga biaya produksi per unit barang menjadi lebih tinggi. Inilah sebetulnya rasionalitas yang digunakan oleh pengusaha untuk menjustifikasi bahwa upah yang tinggi tidak hanya merugikan perusahaan tetapi juga perekonomian secara keseluruhan.

Pada sisi pekerja, mereka melihat bahwa upah yang rendah merupakan bentuk eksploitasi sumber daya manusia, karena mereka dibayar jauh lebih rendah dari yang seharusnya, sehingga perjuangan untuk memperolah upah minimum yang tinggi adalah perjuangan untuk harkat dan martabat manusia. Selain itu, upah mereka yang rendah menggambarkan bahwa mereka tidak bisa memenuhi kepentingan mereka yaitu memaksimumkan kepuasan (utilitas) mereka dari konsumsi barang dan jasa dari penghasilan atau upah mereka. Mereka harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan dan mengorbankan waktu senggang atau luang mereka.

Karena adanya dikotomi itulah maka peran pemerintah diharapkan menjadi mediator yang netral untuk menemukan tingkat upah minimum yang optimal itu. Perlu ada transparansi atau keterbukaan dari perusahaan mengenai kinerja dan kondisi finansialnya untuk bisa menilai secara benar seberapa besar kemampuan perusahaan tersebut, sehingga bisa diperhitungkan dengan tepat tingkat upah yang layak bagi kedua belah pihak. Pada kasus DKI Jakarta, yang kebetulan saat ini dipimpin oleh JOKOWI yang nota bene lebih berpihak ke pada pekerja (kalau ini coba dikaitkan dengan PDIP sebagai partai wong cilik) yang kemudian menaikkan upah mininum yang sangat tinggi (tertinggi) di Indonesia yaitu sebesar Rp. 2,2 juta rupiah per bulan, dan ini  jauh lebih tinggi dari  gaji mininum yang diberikan kepada PNS dalam rancangan terbaru adalah sebesar Rp. 1350.000,- per bulan yang mulai diberlakukan tahun ini.

Pengalaman selama ini, buruh menilai pemerintah punya kecendrungan membela pengusaha ketimbang mereka sehingga upah yang mereka peroleh masih jauh lebih rendah dari "seharusnya". Pemerintah yang diharapkan membela kaum buruh, terkesan membela pengusaha. Kemampuan sumberdaya yang lebih besar, membuat pengusaha punya kapasitas lebih kuat untuk melakukan lobi-lobi, terutama kalau masih ada para pemburu rente (rent seekers) dari para pengambil kebijakan.

Dalam teori politik ekonomi, kecendrungan pemerintah untuk membela pengusaha atau buruh sering juga terkait dengan ideologi dari rezim yang berkuasa. Oleh karena itu, di negara-negara maju atau demokrasi seperti di Amerika, Inggris, dan Australia, hanya ada dua partai besar yang tumbuh, yaitu Partai Buruh (seperti di Australia dan Inggris), atau Partai Demokrat (di Amerika Serikat) yang cendrung membela kaum buruh dan  kaum miskin, atau di kita dengan Partai Wong cilik; dan Partai Liberal (seperti di Australia dan Inggris) atau Partai Republik kalau di Amerika Serikat, yang cendrung pro pengusaha dan konglomerasi atau pro kapitalis. Oleh karena itu, nuansa kebijakan publik dari suatu negara sangat ditentukan pula oleh rezim yang berkuasa.

Mestinya harus bagaimana?

Kalau kita lihat bahwa ada tiga pemain utama dalam dunia usaha dan ketenagakerjaan yaitu pengusaha, pekerja atau buruh, serta pemerintah sebagai regulator. Oleh karena itu, solusinya tidak akan jauh dari peran ketiga pelaku tersebut. Pada sisi pengusaha, tentu upaya meningkatkan produktivitas  dan efisiensi perusahaan adalah salah satu upaya penting yang harus dilakukan agar mempunyai kemampuan finansial yang sehat dan kuat untuk membayar upah buruh yang memadai. Para pekerja harus punya usaha dan tekad yang kuat untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas kerjanya. Adalah penting untuk dipikirkan bahwa pekerja dibayar berdasarkan produktivitas kerja, sehingga upah minimum ditentukan pada tingkat produktivitas berapa yang harus dihasilkan pekerja agar perusahaan juga memperoleh penghasilan yang memadai. Sistem ini banyak diterapkan di negara-negara maju khususnya di bidang "manufacturing", sehingga kalau pekerja tidak bisa memenuhi standar produktivitas tersebut, tidak akan diterima di pekerjaan tersebut. Selanjutnya, pemerintah sebagai regulator sekaligus mediator antara kepentingan pengusaha dan kepentingan buruh, tentu harus berusaha berlaku "adil" untuk selalu memihak pada kepentingan bersama bukan hanya "pihak pengusaha" atau "pihak buruh" tetapi kepentingan perekonomian nasional dan kemaslahatan bersama. Yang paling penting adalah bagaimana pemerintah baik melalui kebijakan fiskal dan moneter meramu sedemikian rupa untuk melahirkan kebijakan yang bisa mendorong investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan, sehingga permintaan tenaga kerja meningkat menyamai atau melampaui penawaran tenaga kerja yang cendrung meningkat dari waktu ke waktu. Ini bukanlah pekerjaan yang  mudah, dan perlu diupayakan terus menerus agar tidak hanya memperbaiki kondisi ketenagakerjaan kita tetapi juga perekonomian dan harkat martabat bangsa. Kalau tidak, bukan hanya peringatan May Day yang harus kita terima sebagai "gangguan tahunan" tetapi juga bisa menyebabkan  keterpurukan bangsa yang lebih dalam lagi. Wallahu'alam bissawab...

No comments:

Ide Tambahan Masa Jabatan Presiden

Setelah wacana presiden tiga periode mereda, kini muncul ide yang lebih gila lagi yaitu perpanjang masa jabatan presiden tiga tahun lagi. Id...