Thursday, May 2, 2013

Menyoal Kualitas SDM dan Pendidikan di Indonesia: Sebuah Otokritik


SDM Indonesia dalam Tataran Regional dan Global

Upaya mendidik bangsa adalah ikhtiar yang tiada henti. Adalah menjadi kewajiban semua orang, terutama stakeholders pendidikan, baik secara sendiri-sendiri maupun kolektif untuk memajukan pendidikan kita agar menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang tinggi, setara atau lebih tinggi dari negara-negara maju. Tetapi kenyataannya hari ini bahwa posisi Indonesia dalam hal indeks pendidikan dan indeks pembangunan manusia masih sangat rendah, dan bahkan lebih rendah dari negara-negara tetangga sekalipun.

Kualitas pendidikan dan SDM ini dalam tataran regional dan internasional  bisa dilhat dalam hal indeks pendidikan dan indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI) yang rutin dikeluarkan oleh UNDP.  IPM atau HDI itu merupakan alat pengukuran komparatif yang mencakup harapan hidup, literasi, pendidikan, standar hidup, dan kualitas hidup untuk negara-negara di dunia. Dan ini menjadi alat standar untuk mengukur tingkat kesejahteraan, terutama kesejahteraan anak. Kemudian setiap negara diurut dan dikategorisasikan dalam empat kelompok tingkat IPM yaitu sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah.  

Sebagai  perbandingan dapat dikemukakan bahwa berdasarkan  Human Development Report pada Oktober 2009 oleh UNDP dengan berdasarkan data tahun 2006-2007, indeks pendidikan (education index) Indonesia berada di posisi 104, jauh di bawah negara-negara lain di ASEAN lainnya seperti  Malaysia 98, Filipina dan Thailand 71, Brunei 65, dan Singapura 53. Selanjutnya dalam United Nations Development Programme's Human Development Report, yang terakhir dirilis pada tanggal  14 Maret 2013 yang lalu dan  dikompail berdasarkan data tahun 2012 yang meliputi 185 dari 193 negara anggota PBB. Dari kajian UNDP tersebut ditemukan bahwa posisi IPM Indonesia dibangdingkan dengan negara tetangga bisa disimak bahwa Singapura rangking 18 dan Brunei  30 (sangat tinggi); Malaysia 64 dan Srilangka 92  (tinggi);  Thailand 103, Filipina 114, Indonesia 121, Timor Leste 134 (menengah). Ini menunjukkan bahwa SDM kita memang masih tertinggal. Oleh karena itu, Indonesia harus berusaha jauh lebih keras dibandingkan dengan negara-negara lain untuk mengejar ketertinggalan tersebut.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada semua stakeholders pendidikan, termasuk otokrtitik terhadap diri saya sendiri, yang sudah berkecimpung di perguruan tinggi selama 26 tahun, agar ke depan kita mulai memperbaiki diri kita, diri bangsa kita, agar menjadi lebih baik. Kerja pendidikan itu adalah pekerjaan bersama, fardhu 'ain, bukan fardu kifayah, sehingga semua kita memiliki tanggung jawab (murid, guru, orang tua, lingkungan sosial, dan pemerintah/negara). Penulis berusaha memotret yang terjadi sejauh yang bisa rasakan, saya amati, dan saya alami sebagai salah satu stakeholder pendidikan, sekaligus memberian masukan yang mungkin bermanfaat bagi semua.

Bagaimana kondisi pendidikan  saat ini

Niat dan tekad bangsa ini untuk membangun SDM Indonesia sangat baik dan ideal. Coba kita cermati bahwa salah satu pertimbangan utama kenapa UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 lahir adalah bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi, dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

***
Pemerataan kesempatan pendidikan sampai saat ini masih jauh harapan. Apa yang kita baca, dengar, dan lihat di media massa, serta pengamatan di sekitar kita, aspek pemerataan ini tetap menjadi masalah besar bangsa. Sarana pendidikan yang reot dan tidak layak masih banyak dijumpai di pelosok, tentu dengan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memadai, guru yang terbatas dengan kemampuan terbatas, kemudian diperparah lagi dengan kondisi kemiskinan yang melanda mereka. Banyak diantara mereka yang harus berjalan beratus-ratus meter bahkan berkilo-kilo meter dengan kualitas jalan dan jembatan, bahkan harus menyeberang/jalan di atas sungai sekedar mengenyam pendidikan itu. Bagaimana bisa anak-anak didik dengan kondisi seperti itu misalnya harus ikut ujian nasional (UN) seperti rekan-rekannya di kota-kota besar, dengan kelas berAC, perpustakaan lengkap, jalan dan jembatan mulus, akses internet free di mana-mana, guru-guru hebat ada di situ, dengan tingkat ekonomi yang bahkan jauh memadai. Dengan kondisi seperti itu pun, sekolah-sekolah di kota belum juga percaya diri (PD) karena kecurangan ujian di kelas, bahkan sampai ujian nasional masih kerap terjadi. Pemerataan kesempatan pendidikan tidak hanya tersedianya sarana prasarana fisik sekolah, jumlah dan kualitas guru, termasuk perpustakaan serta fasilitas lainnya, termasuk di daerah-daerah terpencil. Oleh karena itu, harus ada tindakan afirmasi (affirmative action) untuk mengatasi ini, dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, dan nasional), dan kalau tidak maka kualitas pendidikan dan SDM kita akan semakin tertinggal dengan negara lain. Sehingga bagi kita globalisasi bukanlah peluang, tetapi ancaman buat kita, karena kita sepertinya tidak akan mampu bersaing dalam percaturan dunia yang semakin dinamis dan keras ini.

***
Aspek peningkatan mutu serta relevansi pendidikan juga menjadi salah satu hal yang krusial dalam pendidikan kita. Kata-kata mutu dan relevansi adalah dua kosa kata yang paling sering kita dengan dibangsa ini tetapi tetap menjadi momok untuk kita saat ini. Konsep pembaikan mutu berkelanjutan (continuous quality improvement)  yang kita anut dan perjuangkan belum sepenuhnya kita upayakan secara serius, karena sering kita juga mencidrainya sendiri. Kasus mengkotrol nilai baik secara informal maupun formal sering kita dengarkan supaya kita kelihatan lebih baik dari sebelumnya, yang sebetulnya kita membohongi diri kita sendiri dan bangsa kita sendiri (coba simak kembali juga yang disampaikan Jusuf Kalla di acara ILC TVONE dalam merespon kekisruhan UN dua minggu yang lalu). Melalui UU Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pemerintah telah menggariskan dengan sangat baik seperti apa sosok pendidikan yang kita inginkan dengan visi dan misi yang sangat baik. Tapi tentu saja, apa yang menjadi keinginan itu masih jauh dari yang diharapkan, perbaikan nutu berkelanjutan masih harus terus diupayakan. Sebagai contoh, Ujian Nasional (UN) yang oleh Majalah Detik Edisi 73 (22 April 2013) diplesetkan sebagai Ujian Nuh menjadi peristiwa yang fenomenal nan janggal  tahun ini, bukan hanya karena kita sudah sangat berpengalaman menjalankan ujian serupa, tetapi juga karena gawe itu akan digunakan sebagai tolak ukur kualitas SDM bangsa Indonesia ke depan. Manajemen dan administrasi publik yang kurang professional di Indonesia sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru dan mengagetkan karena itu merupakan potret "public service" bangsa secara keseluruhan. Masalah lain adalah kerap terjadinya gonta-ganti kurikulum dari waktu-waktu. Yang paling mutakhir adalah keinginan pemerintah mengeluarkan kurikulum baru 2013 diujung-ujung masa pemerintahannya, yang sangat mungkin ditinjau kembali oleh pemerintahan berikutnya. Harus dituangkan dalam Undang-Undang seberapa cepat kita harus merevisi atau merubah kurikulum. Jangka waktu yang ideal mungkin 15-20 tahun, sehingga terdapat cukup waktu untuk melihat kelebihan dan kekurangan suatu kurikulum. Contoh yang lain adalah bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru atau tenaga pendidik, pemerintah telah dan akan melakukan sertifikasi dan uji kompetensi guru secara periodik, serta diberikan tunjangan sekali untuk itu. Tapi apa yang terjadi, pembayaran gajinya sering tersendat-sendat, bahkan tunjangan sertifikasi untuk dua tahun yang lalu belum terbayarkan, belum lagi kasus-kasus pemotongan tunjangan itu di berbagai daerah masih marak terjadi. Apalagi konsep desentralisasi pendidikan masih hanya dalam wacana, malah dalam beberapa kasus terakhir, bahkan sudah mulai melakukan "resentralisasi", termasuk misalnya diberikannya hak kepada Mendiknas memiliki votes sampai 35 persen dalam penentuan Rektor di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Lalu kita bertanya: "apa benar kita serius membangun pendidikan dan manusia Indonesia ini"?

***
Efisiensi di bidang pendidikan juga menjadi tujuan pendidikan yang sering kita dengang-dengungkan. Sebetulnya konsep efisiensi  lebih mengacu kepada terminologi ilmu ekonomi, bahwa apa-apa harus hemat biaya (cost effectiveness), produktivitas tinggi (high productivity) atau menguntungkan (profitability), dan sejenisnya, sehingga di konsep ekonomi, adalah dua pilihan utama yaitu   minimising cost or maximising profit. Sehingga tidak keliru kalau ada yang mengkritisi bahwa ini terkait dengan istilah komersialisasi pendidikan, sehingga pendidikan itu dipandang sebagai suatu komoditi yang diperjual belikan untuk meraih keuntungan. Kalau itu yang dimaksud tentu adalah sesuatu yang sangat keliru, karena pendidikan itu adalah amanah UU, pendidikan itu kewajiban negara dan haknya rakyat tanpa kecuali, baik kaya maupun miskin, sehingga wajar kalau MK menolak konsep Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang terkesan ingin menjadikan lembaga pendidikan yang komersial.

Dalam dunia pendidikan tentu kita bisa menghubungkan istilah efisiensi ini dengan bagaimana dengan input mahasiswa dengan seluruh sumberdaya yang dimiliki bisa menghasilkan kualitas output atau alumni setinggi-tingginya. Adalah betul bahwa  "higher profit or even quality requires higher costs and risks" dalam pengertian bahwa kalau kita menginginkan output, profit atau kualitas yang tinggi maka diperlukan biaya dan resiko yang tinggi pula... atau orang sering juga menyebut...no pain....no gain. Yang menjadi persoalan adalah apakah biaya pendidikan yang besar itu harus ditanggung peserta didik? sehingga bisa menghasilkan output yang berkualitas. Saya kira, tanggungjawab terbesar harus berada di tangan pemerintah karena pendidikan itu bukanlah komoditi tetapi tanggung jawab dan komitmen negara untuk memberikan hak rakyat bagi perbaikan harkat dan martabat bangsa dan negara sendiri. Fenomena pendidikan gratis tingkat SD, SMP, SMA, dan mungkin ke depan sampai perguruan tinggi (seperti dilakukan di banyak negara). Keberadaan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan sekarang ada Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), termasuk alokasi APBN sebesar 20 persen bisa dilihat sebagai perwujudan tanggung jawab pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional.  Ke depan tentu saja anggaran ini harus terus ditingkatkan sejalan dengan semakin tingginya tuntutan akan pendidikan yang berkualitas. Pada saat yang bersamaan, masyarakat juga harus ikut berpartisipasi untuk membantu pemerintah, sehingga efisiensi di perguruan tinggi tidaklah selalu bermakna komersialisasi pendidikan, apalagi itu harus menjadi beban rakyat atau peserta didik.

Lalu sebaiknya bagaimana?

Dengan menulis ini bukanlah menunjukkan bahwa kita pesimis, tetapi dengan adanya tulisan ini justru menunjukkan ada motivasi yang kuat dari kita untuk memperbaiki kualitas SDM kita ini. Persoalan terbesar bangsa adalah bahwa kita terlalu permisif dan toleran, bahkan pasrah  terhadap kekurangan dan kegagalan kita. Kalau kita jelek dan gagal, lalu kata-kata yang muncul di mulut kita adalah, itu sudah takdir, sudah nasib kita, itu musibah., dan sering kita katakan bahwa itu khan oknum, jumlahnya sedikit, masih banyak yang baik dan jujur kok, dan seterusnya termasuk untuk kasus kekisruhan Ujian Nasional (UN). Padahal tanpa kita sadari bahwa kejelekan dan kegagalan kita tersebut merupakan buah dari tangan kita sendiri karena lebih banyak disebabkan oleh ketidakseriusan kita, tidak professionalnya kita, tidak ada semangat untuk maju, atau mungkin  belum ada spirit untuk perbaikan berkelanjutan itu. Lalu tugas kita adalah bagaimana memperbaiki kelemahan dan kekurangan kita pada ketiga aspek yang dibahas di atas secara terstruktur dan terencana. Salah satu aspek terpenting menurut saya adalah bagaimana pemerataan akses pendidikan betul-betul harus dicapai 100 persen, baru dituntut standardisasi nasional, termasuk melalui Ujian Nasional tersebut. Jika hal ini bisa dilakukan bersama-sama dengan aspek-aspek yang lainnya akselerasi perbaikan mutu pendidikan berkelanjutan itu untuk melahirkana kualitas sumber daya manusia yang memiliki daya saing tinggi bukanlah sesuatu yang mustahil.




No comments:

Ide Tambahan Masa Jabatan Presiden

Setelah wacana presiden tiga periode mereda, kini muncul ide yang lebih gila lagi yaitu perpanjang masa jabatan presiden tiga tahun lagi. Id...