Thursday, May 9, 2013

Fenomena Ijazah Palsu dan Potret Pendidikan di Indonesia


Pengantar

Kepalsuan bukanlah sesuatu yang aneh dalam masyarakat kita, karena ini sudah sangat menggejala dalam masyarakat kita entah sejak kapan dimulai. Kasus-kasus yang berbau “illegal” seperti uang palsu, kartu kredit palsu, KTP palsu, wajah palsu, SIM palsu, polisi palsu, jaksa palsu, dukun palsu, bahkan kiyai palsu sudah tidak asing bagi kita. Tapi kenapa isu ijasah palsu membuat kita lebih risau, karena ini menyangkut moral dan karakter bangsa dan  sistem pendidikan kita. Mungkin kita sependapat bahwa keberadaan sumberdaya manusia (human resources) itu dengan segala atribut yang menyertainya merupakan faktor penentu pembangunan bangsa dan lembaga pendidikanlah yang paling bertanggungjawab untuk itu.


Kasus ijasah palsu memang patut membuat kita resah dan malu. Praktek "penjualan ijasah sarjana palsu (baik S1, S2, S3 bahkan Professor) dilakukan untuk ijasah luar negeri maupun dalam negeri. Kalau diestimasi dari praktek yang mulai marak sejak tahun 1990an ini sudah sangat luar biasa. Diduga sudah ratusan ribu ijasah palsu yang sudah beredar di Indonesia baik oleh lembaga yang mengatasnamakan perguruan tinggi luar negeri maupun perguruang tinggi dalam negeri. Modus operandi penjualan ijasah palsu diduga dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi swasta oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh  beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jawa Timur, misalnya ditemukan mengeluarkan Ijazah palsu dengan tarif: untuk S1 dan akta IV dibandrol Rp 12,5 juta, S2 seharga 20 juta, dan S3 dijual Rp 70 juta tanpa kuliah (Kompas.com, Kamis, 14 Juni 2012).


Yang lebih ironis lagi adalah bahwa pihak yang memanfaatkan jasa ijasah sarjana palsu ini  bukanlah orang biasa, sebutlah; birokrat, politisi, pengusaha, artis-seniman, dan bahkan guru dari pusat sampai di daerah-daerah. Sebagai contoh, seorang guru di Kabupaten Garut, Jawa Barat, yang diduga memiliki ijazah palsu dari salah satu perguruan tinggi swasta di Bogor dan lulus uji kompetensi, tapi akhirnya tidak dapat memenuhi panggilan untuk proses seleksi lebih lanjut karena ijazahnya palsu (Kompas.com; Selasa, 12 Juni 2012). Kasus yang sama menyeruak di seantero negeri. Bagaimana bisa, orang yang mestinya mendidik bangsa ini, mempunyai mental dan karakter seperti itu.


Lalu yang patut  dipertanyakan adalah apakah yang salah dengan bangsa ini? Apakah ini karena sifat oportunis dan kapitalistik, ataukah indikasi ketidakpercayaan pada lembaga pendidikan resmi, ataukah karena krisis moral dan jati diri bangsa, ataukah imbas dari potret pendidikan tinggi kita? 

Mengenyam pendidikan memang susah dan tidak  murah.


 Walaupun menuntut ilmu itu wajib (education is compulsory), dan pendidikan untuk semua (education for all) lalu bukan berarti kita bisa menghalalkan segala cara, seperti Teori Machivelli itu atau melalui cara instan dan jalan pintas (short cut). Perlu waktu, ketekunan, dan kerja keras, serta tidak murah (apalagi murahan) untuk menjalaninya karena faktor-faktor itulah yang akan mewarnai kualitas, memacu etos kerja kita ketika bergelut dalam masyarakat serta meningkatkan apresiasi masyarakat bahkan insyaAllah memperoleh pahala dan berkah  dari sisi Allah SWT.


Sesungguhnya pendidikan itu butuh dana dan waktu. Coba kita simak ilustrasi yang sedikit agak ekstrim berikut ini.  Saya punya kawan pergi kuliah ke Australia untuk program Doktor dengan beasiswa selama 6(enam)tahun. Sampai beasiswa selesai, meskipun telah menyelesaikan disertasinya, tidak juga berhasil memperoleh gelar yang diidamkannya. Pada tahap ini sebenarnya dia sudah menelaah ratusan buku dan artikel ilmiah tapi karena dia belum menemukan sesuatu yang “baru” dari hasil penelitiannya sehingga belum layak diberikan gelar itu. Hebatnya, dia tidak patah semangat, setelah kembali ke tanah air dia berusaha mencari beasiswa lagi, dan dia dapat 2(tahun) untuk selesaikan S2. Alhasil, dia menghabiskan waktu delapan tahun untuk sekedar memperoleh gelar S2. Boleh kita hitung berapa biaya yang dikeluarkan. Sebagai ilustrasi, “tuition fee” (SPP) Perguruan tinggi di Australia setahun untuk bidang eksakta lebih kurang 15.000 Dollar Australia (AUD) (misalnya dengan kurs 1 AUD =Rp. 10.000,- berarti Rp. 150.000.000 per tahun) ditambah dengan dengan biaya hidup dengan jumlah yang sama (karena living allowance bulanan sekitar AUD 2.100), maka total biaya digunakan per tahun mencapai Rp. 360.000.000 per tahun. Kalau misalnya untuk menyelesaikan S3 selama 4 tahun maka dana yang dihabiskan bisa mencapai  lebih dari Rp. 1,44 miliyar). Betapa sulit dan mahalnya gelar itu. Syukurlah kalau diberi beasiswa, kalau tidak, dari mana duitnya?  Belum lagi dihitung biaya sosial yang harus ditanggung selama sekian lama. Kondisi ini tentu sungguh berbeda dengan  fenomena ijasah palsu. Suatu waktu saya melakukan survey di kawasan pesisir di Kabupaten Lombok Timur, saya secara kebetulan menemukan responden yang dengan bangganya menceritakan tentang 2(dua) gelar S2 luar negeri yang disandangnya dan dalam proses mengurus ijasah S3 nya. Ini tentu sangat ironis.  Proses untuk memperolehnya hanya dalam hitungan bulan. Saya tidak tahu persis kompetensi apa yang  membuat dia berhak memperoleh gelar itu, karena sesungguhnya dia hanya pengusaha Batu Apung dengan pendidikan rendah.

Mempertanyakan Kualitas  Pendidikan Tinggi


 Khusus terkait pendidikan nasional kita, lahirnya UU No.  20 /2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) merupakan tonggak sejarah penting dalam mengatus pendidikan nasional yang komprehensif dan professional. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, kita telah mengenal sistem akreditasi nasional dan program penjaminan mutu (quality assurance) untuk perguruan tinggi agar bisa memberikan pelayanan terbaik bagi dunia pendidikan dan masyarakat. Walaupun demikian, bukan berarti proses belajar mengajar pada perguruan tinggi yang sudah terakreditasi tidak menghadapi masalah dan kendala dalam prakteknya. Kalau mau jujur, masalah yang dihadapi oleh lembaga resmi inipun tidak kalah seriusnya. Bahkan menurut Azyumardi Azra (2002) mensinyalir bahwa pendidikan tinggi saat ini mengalami krisis yang tidak hanya berkaitan dengan kualitas lulusan, tetapi juga menyangkut mentalitas, moral, karakter, dan etika dari komponen yang terlibat dalam sistim pendidikan itu sendiri.

             
Mungkin sudah menjadi rahasia umum dan timbul  plesetan dalam masyarakat. Kita mungkin sering mendengar ijasah Asli tapi palsu, Sekolah tidak Ijasah Ada, Sekolah Tidak Ilmu Enggak, adalah beberapa ungkapan yang menggambarkan kualitas pendidikan tinggi sekarang ini. Ini mengindikasikan bahwa ada  lembaga resmi yang berhak mengeluarkan ijasah tapi belum menyelenggarakan proses belajar mengajar yang profesional seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Ini harus menjadi bahan renungan bagi kita yang bergerak di bidang pendidikan tinggi ini. Seberapa seriuskah kita membenahi kualitas pendidikan kita. Seberapa profesionalkah kita mengurus lembaga pendidikan ini? Seberapa seriuskah kita menaikkan marwah lembaga pendidikan tinggi kita. Seberapa tinggikah komitmen kita untuk membaktikan diri dalam masyarakat sesuai gelar yang kita sandang. Jangan-jangan kita yang bergelar S2, S3 resmi  tidak bisa berbuat lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, atau yang memiliki ijasah sarjana palsu. Yang paling penting, masihkah kita punya komitmen dan energi untuk memperbaiki ini semua?.

LALU APA YANG BISA KITA PERBUAT?


Sesungguhnya persoalan pendidikan merupakan masalah semua orang karena memang ini merupakan hajat hidup orang banyak dan menyentuh semua sektor kehidupan. Secara kolektif, masyarakat terutama pihak-pihak yang terkait di dalamnya (stakeholders) harus memberikan peran aktif dalam memperbaiki sistim pendidikan termasuk upaya perbaikan moral dan karakter bangsa ini.

            Membenahi lagi Pendidikan Tinggi 

Konsep pengembangan pendidikan tinggi yang profesional dan mandiri telah lama dicanangkan. World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action oleh UNESCO (1998) merumuskan paradigma baru (new paradigm) tentang perguruan tinggi. Paradigma baru ini bertumpu pada tiga aspek. Pertama, otonomi perguruan tingi yang lebih besar (greater autonomy). Dalam hal ini dikembangkan prinsip kemandirian dalam pengelolaan manajerial serta pengaturan kurikulum sesuai dengan kebutuhan pasar yang didukung oleh kegiatan penelitian dan pegembangan (research and development) yang berkelanjutan. Kedua, akuntabilitas yang lebih besar dan terbuka (greater accountability) yang menyangkut tidak hanya dalam pemanfaatan sumberdaya keuangan tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan pendidikan dan program-program yang diselenggarakan. Akuntabilitas ini tidak hanya ke pada pemerintah tetapi yang lebih penting kepada masyarakat penggunaan jasa pendidikan itu. Aspek ketiga adalah perlunya adanya penjaminan mutu dan kualitas yang lebih tinggi (greater quality assurance) melalui evaluasi internal (internal evaluation) and evaluasi eksternal (external evaluation) oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT  yang dilakukan secara berkesinambungan dalam rangka upaya perbaikan mutu pendidikan tinggi berkelanjutan.  Penerapan paradigma baru tersebut haruslah diikuti dengan semakin profesionalnya pelaku pendidikan dalam mengelola input sehingga menghasilkan output (lulusan) yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Dalam kerangkan itu, maka proses pendidikan ini harus kembali dibenahi dengan memberikan pelayanan terbaik bagi kemajuan pendidikan nasional.

            Perlu Penegakan hukum yang serius

Solusi melalui  penegakan hukum (law enforcement) mungkin sesuatu yan klasik, tapi dalam negara modern inilah sebenarnya kunci dari pemerintahan yang baik (good governance) yang selama ini belum mampu kita wujudkan di negeri ini. Konstitusi kita telah menggariskan bahwa semua warganegara berhak memperoleh pendidikan yang memadai. UU SISDIKNAS itu merupakan acuan hukum yang bisa digunakan oleh penyidik Polri untuk memproses pihak-pihak yang mengeluarkan dan menggunakan ijasah palsu itu.  Kalau dilihat pada ketentuan pidana yang termuat dalam UU itu sangatlah berat. Pada Bab XX pasal 67, 68, 69, dan 70 sangat jelas dikemukakan tentang pidana yang dikenakan bagi mereka yang melanggar ketentuan ini. Pada pasal 67 misalnya menjelaskan bahwa Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selanjutnya pada pasal 68 selanjutnya diterangkan bahwa setiap orang yang membantu memberikan dan menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dapat dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Seyogyanya, ancaman ini cukuplah bagi kita untuk mulai “insyaf” dan jika hukum ini bisa ditegakkan tentu sebagian persoalan dalam yang menodai potret pendidikan kita bisa teratasi. 

            Kontrol Sosial (Social Control) 

Kontrol sosial perlu dalam mengawal proses pendidikan tinggi di Indonesia. Kasus- kasus yang menodai proses pendidikan harus dikritisi dan diberikan jalan keluar yang konstruktif. Tidak ada salahnya, dalam kasus ijasah palsu ini, kita dan masyarakat perlu mempertanyakan gelar yang disandang seseorang, tidak hanya dari mana asal usulnya tetapi juga untuk apa gelar tersebut disandang. Mungkin ada baiknya kita mempertanyakan pada bibi kita, paman kita, kakek kita atau ipar kita yang memperoleh gelar tentang dari mana memperoleh, dari mana, dan kapan kuliahnya, sehingga dapat menjadi “shock teraphy” sehingga mereka tidak perlu bangga dengan apa yang seharusnya  tidak perlu dibanggakan. Ada kisah menarik yang penulis alami dengan kawan-kawan sendiri. Ada seorang kawan memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC) dengan cara yang tidak sah itu. Saya dan kawan-kawan kalau bertemu beliau sering berbuat iseng dengan melakukan bersin, "hhaaaaa cceehhh" untuk menyindir doktor nya itu. Lama kelamaan, mungkin karena ndak enak, maka gelar itu ndak pernah dipakai lagi. Memang perlu pendekatan-pendekatan seperti itu untuk menyadarkan mereka yang gila gelar, tanpa kuliah yang benar.

Penutup


Akhirnya, life must go on,  yang diperlukan barangkali adalah  keseriusan kita untuk kembali berbenah diri dengan tekad dan semangat baru dan menyadari dengan sungguh-sungguh fungsi dan peran kita dalam memajukan lembaga pendidikan. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Fenomena ijasah palsu harus dihentikan sekarang juga. Peran pemerintah terutama dunia perdidikan serta masyarakat luas juga penting untuk mengawal usaha-usaha pemberantasan baik yang terstruktur maupun oleh oknum-oknum pencari uang secara instan. Jangan sampai professor siluman, dan professor benaran yang masuk terali besi  terulang lagi sehingga semakin memperparah kepercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan yang gagal menghasilkan kualitas sarjana baik secara akademik maupun moral. Sekali lagi, tuntaskan kasus ijasah palsu ini dan pada saat yang sama kita perbaiki sistem pendidikan tinggi kita, sehingga setiap orang yang memperoleh ijasah dapat menggunakannya dengan penuh rasa bangga dan dapat memberikan sumbangsih nyata bagi pembangunan bangsa.

No comments:

Benarkah PT Nol persen Untuk Capres dan Cawapres baik untuk Demokrasi Indonesia???

  Pendahuluan Saya sudah memposting sebelum nya yaitu pada tanggal 15 Januari 2022 tentang pentingnya PT 0 persen ini sebagai pilihan terbai...