Friday, May 10, 2013

Mengapa Kebijakan Kuota Impor (Sapi) Berpotensi untuk Praktek "Rent Seeking"?

Pengantar


Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berita paling heboh tahun ini yaitu dijadikannya tersangka mantan Ketum PKS, LHI  yang terkait dengan kasus kuota impor daging Sapi. Kasus ini mengemuka setelah ditemukan cukup bukti bahwa kebijakan pembatasan impor ini ternyata "menguntungkan" banyak pihak terutama pengimpor serta oknum yang mempunyai akses kebijakan terhadap "kuota", karena dengan kekuasaan (power) nya bisa mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pengimpor tersebut. Implikasi klebih lanjut adalah bahwa para oknum dan konco-konconya memperoleh "jatah" dari pihak-pihak yang diuntungkan tersebut. Komplet lah sudah, inilah sudah bentuk praktek kerjasama dan kongkaliong yang "harmonis" dan luar "binasa" antara politisi, pengambil kebijakan, dan pengusaha, pihak-pihak yang sebenarnya sangat diharapkan oleh rakyat untuk memperbaik negeri ini.

Korupsi dan aksi pencucian uang (money laundering) adalah dua sisi yang saling terkait. Masalah pencucian uang sekarang menjadi isu yang marak, (saingan dengan menjamurnya bisnis "laundry" untuk cuci pakaian) karena hasil korupsi banyak digunakan untuk membeli asset bahkan menghambur-hamburkan nya ke arah yang tidak jelas, termasuk dengan dilibatkannya empat artis dan perempuan cantik pada kasus AF, serta pembelian asset-asset atas nama orang lain seperti pada kasus Irjen DS. Modus operandi pencucian uang ini memang serba gelap dan tersembunyi, dan hasilnya juga dihamburkan secara gelap dan sulit dideteksi.

Terlepas dari modus operandi korupsi yang sangat beragam, tulisan ini akan menyorot secara khusus bagaimana dampak kebijakan kuota (pembatasan jumlah) barang yang diimpor ini terhadap ekonomi serta potensinya untuk terjadinya praktek "rent seeking" yang menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan rakyat (konsumen), ditinjau dari teori perdagangan internasional.

Apa Sih Kebijakan Kuota Impor Itu?


Dalam konteks kebijakan  ekonomi, khususnya kebijakan perdagangan internasional terutama untuk argumen membantu industri dalam negeri untuk berkembang, ada dua model kebijakan yang bisa dilakukan yaitu kebijakan harga (price policy) dan kebijakan pembatasan jumlah (quantity policy). Kebijakan harga, misalnya terkait dengan perdagangan internasional itu misalnya dalam bentuk pajak impor (import tax or tariff) dan/atau pajak ekspor (export tax or tariff). Dengan kebijakan tarif impor misalnya, tergantung tingkat tarif yang dikenakan, semakin tinggi tarif impornya maka harga  dan jasa dari luar negeri menjadi lebih mahal dari barang yang sama di dalam negeri, dan karenanya pasar untuk barang yang sama di dalam negeri masih bisa bersaing dalam pasar barang dan jasa.

Kebijakan pembatasan jumlah (quota) adalah kebijakan membatasi jumlah barang dan jasa yang diimpor dari luar negeri, dikaitkan dengan jumlah barang yang sama di dalam negeri, sekaligus sebagai salah satu alat untuk mengendalikan harga barang tersebut di dalam negeri. Dalam hal ini untuk membantu pengusaha barang dan jasa itu dalam negeri dengan menset jumlah yang diijinkan untuk diimpor. Dalam kasus kuota impor sapi, tentu untuk melindungi produsen ternak, agar harga daging tetap tinggi, apalagi kalau daging impor tidak dibatasi, bisa mendorong harga turun. Ide dasarnya adalah bahwa kebijakan intervensi perdagangan itu dilakukan untuk melindungi perusahaan peternakan dalam negeri yang berskala kecil (skala keluarga dengan puluhan dan paling tinggi ratusan ekor), sehingga biaya produksi per unit ternak menjadi jauh lebih mahal dari perusahaan peternakan di luar negeri. Australia, sebagai contoh, seorang peternak bisa memiliki ternak sapi sampai 15.000 ekor dengan luas padang pengembalaan khusus (grazing area) sampai ribuan hektar, sehingga biaya per unit ternak bisa ditekan lebih murah.


Dalam sistem perdagangan bebas dalam konteks era globalisasi, outflow  dan inflow barang dan jasa mestinya tidak ada restriksi, yaitu tarif nol (zero tariff) atau tanpa kuota. Hanya mekanisme pasarlah yang menentukan harga barang serta jumlah barang yang disuplai, termasuk aliran barang dan jasa antar negara. Tapi dalam prakteknya, tidak semua negara melakukan itu, dengan alasan dan argumen masing-masing, atau melanggar konsep perdagangan bebas yang didengung-dengungkan, terutama dalam satu dekade terakhir, meskipun ada juga yang mulai mempertanyakan tentang efektivitas kebijakan seperti ini.

Dari mana peluang rent seeking dari kebijakan kuota impor terjadi?


Dalam sistem ekonomi pasar internasional, pemberlakuan pembatasan atau restriksi baik melalui mekanisme tarif impor dan/atau kuota impor merupakan distorsi pasar. Dampak kedua kebijakan ini terhadap kesejahteraan sosial (social welfare) adalah relatif sama, karena keduanya akan mendorong harga domestik menjadi naik. Perbedaannya hanyalah bahwa kebijakan tarif akan menguntungkan pemerintah karena ada pemasukan dari pajak atau tarif, tetapi kalau kebijakan kuota impor akan menguntungkan pihak pengimpor barang tersebut.

Kebijakan kuota impor, khususnya akan sangat berpotensi untuk menimbulkan kerugian baik bagi konsumen maupun nagi perusahaan pengimpor yang lain yang tidak ditunjuk sebagai pengimpor. Bagi konsumen, kebijakan kuota impor akan mengurangi surplus konsumen sehingga menekan tingkat kepuasan atau utilitas mereka (mengurangi kesejahteraan sosial), karena pada akhirnya kebijakan ini akan mempengaruhi harga, atau tepatnya naiknya harga. Karena kuota impor dibatasi  apalagi jauh dibawah defisit antara penawaran dan permintaan daging sapi yang dihasilkan dalam negeri , maka harga daging sapi bisa terdorong ke atas, bisa "jauh" lebih tinggi dari harga kalau daging itu dibiarkan dalam sistem perdagangan internasional yang bebas. Harga yang lebih tinggi dari yang "seharusnya" inilah yang membuat konsumen daging sapi ini dirugikan, tetapi pada sisi lain menguntungkan perusahaan pengimpor dan distribusi barang tersebut.

Bagi perusahaan pengimpor, tentu saja ada yang rugi, yaitu mereka yang punya kemampuan untuk mengimpor tetapi tidak mendapat jatah atau kuota untuk impor tersebut, karena kebijakan kuota ini juga disertai dengan pembatasan pada perusahaan mana yang bisa mengimpor, sehingga jumlah kuota yang diimpor cukupmemadai untuk mendatangkan keuntungan yang memadai, kalau tidak dikatakan "besar". Dalam konteks inilah maka peluang untuk pencarian "rent seeking" itu terjadi, yaitu dengan cara menset kuota impor jauh lebih rendah dari yang seharusnya, sehingga harga daging sapi menjadi jauh lebih tinggi sehingga menguntungkan pengimpor, karena selisih antara harga beli di luar negeri dengan harga jual dalam negeri menjadi jomplang. Selisih keuntungan yang besar inilah, oleh para oknum digunakan untuk meminta "bagian" keuntungan, atas jasa mereka mengusahakan kebijakan yang "menguntungkan". Dalam politik kebijakan publik, itu merupakan suatu "bad public policy" atau salah satu bentuk dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), karena hanya menguntungkan segelintir orang yang rakus dan tidak punya hati nurani, terlepas ada sisi positif dari intervensi perdagangan tersebut bagi bisnis sapi dalam negeri atau lokal.

Pilihan kebijakan yang "lebih baik" itu seperti apa?


Sebetulnya pilihan kebijakan itu adalah sangatlah fleksibel dan kasuistis. Dalam buku-buku teks ekonomi, khususnya ekonomi internasional atau perdagangan internasional biasanya mengacu pada pemikiran  mainstreanm ekonomi (neo klasik), yaitu ekonomi kapitalis (pasar), atau liberal, kebijakan non restriksi, zero tariff, dan non-quota adalah lebih disukai karena hal itulah yang paling memungkinkan  untuk menghasilkan benefit sosial maksimum atau sering diistilahkan optimal pareto (untuk ini coba kaji lebih jauh pada fenomena harga keseimbangan pada pasar persaingan sempurna).

Lalu apakah, kebijakan restriksi atau intervensi perdagangan seperi pajak impor, kuota impor, subsidi impor, subsidi ekspor, dan sejenisnya tidak boleh? tentu saja boleh dengan argumen-argumen tertentu. Yang menggelitik para ekonom dalam kaitannya dengan kebijakan restriksi impor ini adalah seberapa berhasilkah kebijakan intervensi perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan disparitas pendapatan, dan meningkatnya kesejahteraan sosial secara umum.

Kebijakan intervensi perdagangan ini diakui mempunyai dampak positif atau benefit dalam jangka pendek, khususnya bagi perusahaan peternakan, di mana punya kesempatan untuk meningkatkan efisiensi usahanya agar bisa bersaing dalam pasar bebas. Pada kenyataannya, hampir semua negara, termasuk AS sebagai panglima dari konsep ekonomi pasar itu, pernah melakukan kebijakan-kebijakan yang melanggar konsep ekonomi pasar tersebut. Jadi pada dasarnya kebijakan ekonomi suatu negara, khususnya yang terkait dengan perdagangan internasional sangat terkait dengan kepentingan dalam negeri (self - domestic interest) terutama kepentingan bisnis dalam negeri dan rakyat. 

Pada akhirnya, pilihan kebijakan publik adalas sesuatu yang tidak gampang, tergantung dari kehendak politik pemerintah (political will) yang diwujudkan pada politik ekonomi yang dianut. Tolak ukur satu-satunya adalah bagaimana suatu kebijakan publik, kebijakan perdagangan internasional ini bisa  mensejahterakan masyarakat secara umum. Suatu kebijakan hanya  akan "optimal" pada syarat-syarat tertentu atau kalau syarat-syaratnya terpenuhi. Wallahu alam bissawab.



No comments:

Ide Tambahan Masa Jabatan Presiden

Setelah wacana presiden tiga periode mereda, kini muncul ide yang lebih gila lagi yaitu perpanjang masa jabatan presiden tiga tahun lagi. Id...