Pengantar
Hari Senin, 13 Mei 2013 merupakan hari yang sangat mendebarkan bagi semua pasangan calon serta para pendukungnya. Karena pada hari itulah, apa yang telah diperjuangkan selama ini akan diketahui hasilnya. Proses pemilukada merupakan jalan panjang, mulai dari merencanakan, memantapkan niat, mencari dan menegosiasikan kendaraan politik, pembentukan Tim Sukses, sosialisasi dan kampanye, serta usaha-usaha lain yang kadang tidak rasional, misalnya meminta pandangan orang "pintar" dan sebagainya. Pokoknya, semua daya dan upaya, tawa dan air mata, dana, pertemanan, afiliasi organisasi agama, organisasi massa dan budaya, serta apapun namanya telah dipertaruhkan. Dan itu semua akan terlihat hasilnya segera setelah waktu pencoblosan tersebut selesai.
Seperti yang sudah kita ketahui di banyak media massa bahwa ternyata incumbent (TGB) kembali memenangkan pertarungan ini (masih dalam versi quick count). Tentu banyak faktor yang berpengaruh tentang hal ini. Tapi yang pasti, incumbent apalagi dinilai berhasil selalu mempunyai kesempatan terbesar untuk memenangkan lagi, meskipun lawan-lawannya juga kuat. Pengalaman di banyak pilkada, hanya incumbent yang bermasalah "berat" saja yang gagal mempertahankan kedudukannya (lihat saja kasus L. Srinata di NTB dan Saifurrahman di kabupaten Dompu, serta banyak tempat lain di Indonesia). Kalimat kuncinya, incumbent dengan segala sumber daya yang dimilikinya baik yang melekat dengan jabatannya maupun link, jaringan, dan hubungannya dengan pihak lain, apalagi prestasinya dinilai cukup baik yang bisa didayagunakan untuk memuluskan ambisinya untuk terpilih kembali.
Terkait dengan Pemilukada NTB, hasil yang telah diperoleh menceritakan banyak hal, misalnya terkait dengan disparitas hasil serta implikasinya. Tulisan ini mencoba menarik benang merah antara realitaspolitik saat ini, serta prospek pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa dalam rangka memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat serta perbaikan pelayanan publik di wilayah ini.
Disparitas Hasil antar Pulau dan antar Kandidat
Dengan tidak mengabaikan hasil KPU yang segera akan keluar dalam beberapa hari lagi, beberapa hasil quick count dari beberapa lembaga survey telah menempatkan TGB sebagai pemenang Pemilukada NTB untuk jabatan 5 tahun ke depan. Pengambilan sampel (contoh) untuk keperluan survey yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga survey tentu sudah memperhatikan heterogenitas masyarakat dan distribusinya sehingga hasil bisa dipertanggungjawabkan, karena metode survey sosial seperti sudah teruji beratus-ratus tahun. Secara statistik dengan perbedaan suara sekitar 15 persen, bisa dipastikan TGB akan memenangkan perhelatan ini, karena standar error maksimal biasanya kurang dari 5 % (kalau menggunakan derajat kepercayaan 95 %), sehingga tanpa menunggu hasil KPU, kemenangan tersebut sudah bisa dipastikan.
Hasil yang dicapai oleh TGB tentu saja karena dukungan partai politik besar, dana yang masif, serta afiliasi dengan organisasi keagamaan (teruatam Nahdahtul Wathan-NW). Tetapi yang justru menarik perhatian dan patut dicermati sebetulnya bukan siapa pemenangnya, tetapi adalah distribusi hasil yang diperoleh para kandidat ini ditinjau dari aspek geografis. Hasil quick count itu juga menunjukkan bahwa semua calon (kecuali SJP, yang suaranya kecil dan menyebar), tiga kandidat lainnya mempunyai distribusi suara yang unik, alias boleh dikatakan "jago kandang". Distribusi suara yang diterima kandidat mendekati prediksi saya pada tulisan terdahulu ("Manakar Calon Gubernur NTB, di bagian lain dari blog ini), bahwa salah satu faktor yang penting adalah primordialisme- atau asal usul. Untuk diketahui, TGB (yang memang berasal dari Lombok Timur - suku sasak) menyapu bersih alias menang di Pulau Lombok, sementara Harun (yang berasal dari Sila, Bolo, suku Bima) menang di Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu, serta Kyai Zul (yang berasal dari Taliwang, Sumbawa Barat - suku Samawa) yang memenangkan pemilukada di Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa.
Hasil ini bisa dibaca sebagai suatu kenyataan bahwa masyarakat di daerah ini, dalam kondisinya yang sekarang, masih memiliki preferensi untuk dipimpin oleh seseorang yang berasal dari komunitasnya "sendiri". Mungkin ini ada baiknya karena pemimpin dari kalangan sendiri bisa memahami lebih baik aspirasi masyarakat dan menemukan solusi yang tepat bagi percepatan pembangunan di wilayahnya. Kenyataan ini bisa juga dilihat sebagai cerminan dari kehendak masyarakat untuk adanya Propinsi Pulau Sumbawa (PPS). Implikasi lebih lanjut adalah diharapkan bahwa akan terjadi percepatan pembangunan di kawasan ini.
Propinsi Pulau Sumbawa on the way
Pulau Sumbawa adalah pulau terbesar yang ada di propinsi Nusa Tenggara Barat, dengan topografi yang lebih unik dengan pegunungan dan lembah, dan cendrung lebih kering dan panas di bandingkan Pulau Lombok. Bagi yang pernah ke Pulau Sumbawa, hampir semua daratan yang ada dikelilingi oleh pegunungan, terkecuali di wilayah pesisir. Kalau dibandingkan dengan pemekaran di wilayah lain di Indonesia, secara gografis, pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa boleh dikatakan sangat layak, karena wilayahnya terpisah dan luas. Secara historis, Propinsi Pulau Sumbawa dikelola para Kesultanan yaitu Kesultanan Bima, Kesultanan Dompu, Kesultanan Sumbawa, serta Taliwang. Pada masa lalu, kesultanan-kesultanan ini lebih banyak berinteraksi dengan Kesultanan Goa dan Makassar, bahkan ada hubungan kekeluargaan. Sedangkan Pulau Lombok, lebih banyak berinteraksi dengan Bali (khususnya Kota Mataram, Lombok Barat, KLU, sampai Lombok Tengah, walaupun untuk kasus Lombok Timur, ada juga keterkaitannya dengan Sumbawa.
Upaya pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa itu diprakarsai Komite Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KP3S). Peluang untuk membentuk suatu daerah otonomi baru mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang ditetapkan pada tanggal 10 Desember 2007(sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000) sesuai dengan koridor Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pembentukan pemerintah daerah otonom baru didasari kepada persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan, termasuk kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Secara administratif paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan suatu provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan suatu kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota termasuk lokasi calon ibu kota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Sudah barang tentu, kehadiran PPS nantinya bukanlah semata-mata karena persoalan geografis dan historis (sehingga mau memisahkan diri) tapi lebih kepada bagaimana secara bersama-sama mendorong agar pengelolaan sumber daya alam maupun sumber daya manusia menjadi lebih baik dan mampu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan percepatan pembangunan di ke dua kawasan ini.
What Next?
Kemungkinan besar inilah Pemilukada terakhir yang diikuti oleh masyarakat dari kedua Pulau di Propinsi NTB ini. Dalam pemilukada yang akan datang, kedua pulau ini akan melakukan pemilukada gubernur sendiri-sendiri. Dengan adanya dua propinsi di kawasan ini, diduga bahwa pembangunan di kawasan ini aka bisa dipercepat. Berdasarkan pemekaran di tempat lain, bahwa pemekaran ini akan berimplikasi meningkatnya anggaran pembangunan yang akan masuk ke kawasan ini. Dan ini diharapkan bisa mempercepat investasi yang tumbuh dan berkembang. Pulau Lombok dengan kawasan yang subur, indah dan menawan bisa mengandalkan pengembangan agribisnis dan pariwisata, sementara PPS mungkin akan mengandalkan pada sektor pertambangan, agribisnis, dan pariwisata. Potensi keduanya yang luar biasa membuat percepatan pertumbuhan di dua wilayah ini akan bisa terwujud.
Ke depan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik diprediksi akan bisa dilaksanakan dengan lebih baik. Wilayah NTB dengan dua pulau yang terpisah selama ini membuat penyelenggaraan pemerintahan yang tidak efisien dan pelayanan publik yang tidak optimal. Seperti diketahui untuk rapat koordinasi saja membutuhkan waktu dan dana yang tidak sedikit. Selain itu, ada kesan bahwa ada kesenjangan kualitas infrastruktur yang ada sehingga sering menimbulkan kecemburuan tersendiri.
Tantangan terbesar ke depan adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik di ke dua kawasan, serta bagaimana bisa melahirkan tatapamong pemerintahan yang lebih baik (better governance). Ini tentu bukan pekerjaan yang mudah, sehingga sangat dibutuhkan pemimpin yang betul-betul ingin mengabdi dan berambisi untuk mensejahteraan masyarakat, bukan mereka yang mencari kekuasaan dan duit untuk kesenangan diri dan kelompoknya.
No comments:
Post a Comment